Forum Guru
Forum Guru Erwin Prastyo : Mewujudkan “Merdeka Belajar”
Membincangkan persoalan pendidikan nasional seakan tidak ada habisnya. Masih hangat di ingatan kita mengenai hasil studi Programme for International
Oleh Erwin Prastyo
Guru MTs Darul Ishlah Sukorejo dan Fasilitator Pembelajaran di Program PINTAR Tanoto Foundation
Membincangkan persoalan pendidikan nasional seakan tidak ada habisnya. Masih hangat di ingatan kita mengenai hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 lalu juga patut menjadi bahan refleksi, betapa masih rendahnya kualitas SDM dan kualitas proses pendidikan selama ini. Persoalan pendidikan lainnya adalah mengenai sistem evaluasi pendidikan nasional.
Ujian Nasional (UN) yang dilaksanakan sejak tahun 2005 lalu telah ‘menyetir’ paradigma guru. Guru akhirnya mengalami disorientasi dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
Yang terjadi fokus guru maupun siswa adalah persiapan ujian nasional pada materi-materi yang dianggap esensial dan akan dikeluarkan dalam soal UN, ketimbang mengembangkan proses pembelajaran yang menumbuhkan kembangkan keterampilan berpikir siswa (creative thinking, critical thinking, maupun problem solving).
Soal-soal pilihan ganda (multiple choice) yang disajikan juga dirasa kurang mewakili penilaian pembelajaran yang holistik. Lebih dari itu adanya kebijakan UN sebagai penentu kelulusan siswa di sekolah.
Namun begitu sejak tahun 2015 dengan dicabutnya ‘power’ UN sebagai pembuka pintu kelulusan pun juga nyatanya malah melahirkan persoalan baru lainnya. Tahun 2020 akan menjadi tahun terakhir UN diterapkan sebagai sistem evaluasi nasional dalam sistem pendidikan di Indonesia. Hal ini merujuk pada dirilisnya empat pokok kebijakan pendidikan nasional Mendikbud terbaru lewat gebrakan “Merdeka Belajar”.
Gebrakan "Merdeka Balajar", menurut penulis menjadi salah satu bentuk reformasi pemerintah dalam bidang pendidikan. Gebrakan ini merupakan inovasi nyata mendukung penerapan Kurikulum 2013 secara holistik.
Banyak harapan berbagai pihak terbit bersama lahirnya gebrakan menteri milenial itu. Salah satu muatannya yaitu arah kebijakan baru evaluasi pendidikan nasional dengan digantinya sistem UN menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter.
Nantinya asemen dan survei ini mengacu pada praktik baik pada level internasional semisal Programme for International Student Assessment (PISA) danTrends International Mathematics and Science Study(TIMSS) dan tiga aspek yang literasi, numerasi, dan karakter.
Aspek literasi terkait bagaimana siswa memahami dan menganalisis suatu bacaan, bukan dikerdilkan pada aktivitas membaca saja. Selanjutnya, aspek numerasi terkait keterampilan siswa menganalisis angka-angka dan survei karakter terkait pengembangan sikap/ karaktersiswa.
Tentunya upaya baik pemerintah ini tidak akan ada artinya tanpa dukungan lainnya. Untuk mewujudkan niat baik Kemdikbud tersebut dibutuhkan imbangan dan upaya konstruktif berbagai pihak dari guru, LPTK, sekolah, dinas pendidikan, serta orangtua dan keluarga.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan harus mau dan mampu mengikuti arus perubahan. Guru harus kreatif mengembangkan pembelajaran berorientasi pengembangan keterampilan berpikir, bernalar, dan aplikatif.
Kampus pencetak calon tenaga guru (LPTK) juga perlu beradaptasI dengan memberikan bekal teori dan praktik pembelajaran terbaik untuk para mahasiswa calon guru. Dinas Pendidikan memiliki peran tak kalah penting sebagai dinas yang menaungi bidang pendidikan di Kabupaten maupun Provinsi dengan penyusunan program inovatif pendidikan dan pembinaan/pelatihan guru-guru di wilayahnya.
Selanjutnya, sekolah harus bisa menciptakan iklim pembelajaran yang senang dan gembira untuk siswa. Hakikat kata ‘merdeka’ berarti tanpa beban dan bebas sehingga peNulis meyakini “Merdeka Belajar” bisa terwujud ketika siswa belajar dengan senang, bahagia, dan tanpa beban. Sekolah juga berupaya membudayakan kegiatan literasi sebagai kegiatan sehari-hari lewat berbagai program unggulan sekolah masing-masing.