Tunggakan BPJS ke RSUD KRMT Wongsonegoro Hingga Kini Belum Beres
Kenaikan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan tidak serta merta membuat utang ke rumah sakit terlunasi. Karena masih ada tunggakan miliaran rupiah
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG -- Tunggakan kewajiban bayar dari BPJS Kesehatan kepada rumah sakit di Kota Semarang belum beres.
Kenaikan tarif iuran peserta BPJS Kesehatan tidak serta merta membuat utang ke rumah sakit terlunasi. Karena masih ada tunggakan miliaran rupiah yang belum dibayar oleh BPJS Kesehatan.
Sebut saja RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang. Direktur RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang, Susi Herawati, menjelaskan hingga November 2019 BPJS memiliki tunggakan sebesar Rp 50 miliar lebih kepada rumah sakit pemerintah ini.
Bahkan ada tunggakan di tahun 2018 yang belum dibayarkan.
"Tahun 2018 setidaknya ada Rp 8 miliar lebih yang belum dibayar oleh BPJS. Padahal kami sudah melakukan prosedur yang diatur oleh BPJS. Tapi faktanya hingga saat ini tunggakan justru semakin meningkat," tegasnya.
Bahkan untuk menutup biaya operasional rumah sakit, Susi harus meminjam kepada bank sebesar Rp 10 miliar untuk keperluan operasional.
"Tenaga medis kan juga punya kebutuhan-kebutuhan yang harus segera dilunasi. Tapi hampir setiap bulan kami berusaha untuk memberikan pengertian, supaya mereka bersabar dengan adanya tunggakan BPJS yang belum terbayarkan," ucap dia.
Walau masih banyak tunggakan yang ditanggung BPJS, pihak RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang tetap terus memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.
Walau begitu, Susi mengakui masih banyak masyarakat yang kecewa dengan asuransi BPJS.
"Saya paham ketika iuran dinaikkan, otomatis masyarakat ingin ada benefit lebih yang mereka dapatkan. Kami sebagai dokter sebenarnya juga ingin seperti itu, tapi banyak prosedur yang dikeluarkan BPJS sehingga membuat pasien kecewa," paparnya.
Misalnya penanganan penyakit vertigo. Orang yang mengalami vertigo seharusnya mendapatkan penanganan medis di rumah sakit untuk beberapa hari.
Namun karena terbentur aturan BPJS, maka pihak rumah sakit tidak berani melakukannya. Sebab jika tetap melakukan rawat inap, klaim yang ditunjukkan kepada BPJS akan ditolak.
"Makanya ini bertolak belakang dengan keinginan dokter untuk memberikan pelayanan terbaik kepada pasien. Jadi kami terbentur dengan hal-hal yang sangat prosedural dari BPJS," terangnya.
Susi berharap masyarakat bisa memahami kondisi tersebut. Bukan pihak rumah sakit yang menolak, melainkan memang sudah menjadi prosedur yang ada di BPJS Kesehatan.
Terpisah, Asisten Deputi Bidang Monitoring dan Evaluasi BPJS Kesehatan Jawa Tengah, Lucky Hefriat menuturkan, BPJS Kesehatan defisit sejak 2014.