Ngopi Pagi
FOKUS : KPK (Belum) Mau Masuk Desa?
SIAPA yang tak tergiur terhadap nilai fantastis yang dikucurkan Pemerintah Pusat ke setiap desa melalui Dana Desa.
Oleh Deni Setiawan
Wartawan Tribun Jateng, Deni Setiawan
SIAPA yang tak tergiur terhadap nilai fantastis yang dikucurkan Pemerintah Pusat ke setiap desa melalui Dana Desa.
Ambillah contoh di sebagian wilayah tertentu, awal tak ada seorang pun yang mau dicalonkan atau terpaksa jadi seorang kades, kini berebut menduduki jabatan itu.
Layaknya pemilihan kepala daerah, Pilkades dalam 2 tahun terakhir menjadi menarik untuk diikuti. Tak sedikit para kontestan berlomba jadi juara, menduduki jabatan itu.
Memang, itu bukan satu-satunya alasan dan sulit dibuktikan, tapi tak dimungkiri bila besarnya dana yang dikucurkan ke tiap desa jadi pemicunya. Bahkan, ada di tingkat kelurahan yang iri, berharap bisa berubah menjadi desa.
Gambarannya, tahun ini Dana Desa di Jateng mencapai Rp 8,2 triliun atau meningkat 5 persen dari tahun sebelumnya Rp 7,8 triliun. Ditambah bantuan keuangan dari Pemprov Rp 1,2 triliun.
Di satu sisi memang ada nilai positifnya, image desa yang selalu kalah dengan kota berangsur hilang. Pembangunan makin merata, kesejahteraan pun juga. Namun melihat besarnya kucuran anggaran itu, potensi dan celah korupsi juga makin nyata.
Bukti, penangkapan Kejari Cilacap terhadap seorang kades karena kasus dugaan korupsi pada Januari 2020. Yang bersangkutan diduga salahgunakan APBDes 2017.
Sejumlah proyek fisik tak sesuai RAB dan spesifikasinya. Termasuk penyimpangan pembayaran PPn dan PPh. Akibatnya, negara merugi sekira Rp 681,6 juta.
Lebih baru lagi, kasus dugaan korupsi ADD dan DD 2017 yang menjerat Kades Talang Jembatan. Yang bersangkutan ditahan Polres Lampung Utara karena terbukti markup anggaran serta proyek fiktif sekira Rp 411,8 juta.
Melihat 2 kasus tersebut, lalu di manakah KPK? Mengapa lembaga antirasuah itu belum masif masuk ke desa dan apa kendalanya? Perlu kiranya jadi perhatian serius dalam pencegahan korupsi. Tak cukup sosialisasi atau mewanti-wanti. Toh, hingga saat ini masih saja terjadi. Tak sedikit kepala daerah terjaring OTT KPK.
Seperti data ICW, pada kurun waktu 2016-2018, sudah ada 212 kades yang menjadi tersangka dan kerugian negara lebih dari Rp 30 miliar.
Ini bukti fungsi pengawasan ke unsur paling bawah masih terbatas, potensi penyalahgunaan kian besar. Saat ini, posisi kades telah masuk dalam 5 besar calon pelaku korupsi, selain ASN, kepala daerah, swasta, dan DPRD.
Pola korupsi di tingkat desa nyaris serupa. Mulai dari proyek fiktif, double anggaran, modus pinjam, hingga pemanfaatan jabatan, baik oleh kades ataupun melalui perangkatnya.