OPINI
OPINI Tasroh : Covid 19 dan Penguatan Anggaran
Pandemi Covid 19 (corona virus diseases) semakin menjadi-jadi penyebarannya. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
Tasroh, S.S.,MPA,MSc
Tim Desain Anggaran Daerah dan Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan)
Pandemi Covid 19 (corona virus diseases) semakin menjadi-jadi penyebarannya. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan hingga awal Maret 2020 sudah 185 negara terinfeksi Corona, dan sedikitnya sebanyak 6.521 orang meninggal akibat keganasan virus tersebut hanya dalam waktu kurang dari 2 bulan terakhir (Kompas, 17/3/2020).
Sementara itu, jumlah terinfeksi Covid 19 di Indonesia hingga pertengahan Maret 2020 sudah mencapai 309 orang dan yang meninggal sudah mencapai 32 orang.
Di lihat dari keganasan penyebab kematian Covid 19 masih lebih rendah dari MARS dan SARS di tahun 2008 dan di tahun 2012 lalu. Karena rata-rata tingkat kematian akibat Covid 19 hanya 3-5%, sementara wabah SARS atau MARS lalu tingkat penyebab kematiannya mencapai 15-20%!
Namun Covid 19 di era perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi yang amat luas itu menjadi satu-satunya wabah virus yang paling agresif dalam jangkauan penyebarannya, karena virus jenis Covid 19 justru menular melalu kontak fisik. Media penyebarannya pun konon 70% dari telapak tangan manusia yang pernah kontak dengan penderita/orang yang terinfeksi dan 30 melalui kontak fisik seperti ciuman dan pelukan.
Akibatnya untuk memutus mata rantai penularan berbagai negara melakukan berbagai langkah pencegahan dari ekstrim hingga yang slow down, dari yang lock down hingga yang shut down. Kerumunan, pertemuan banyak orang dalam satu ruangan, baik dalam skala pendidikan, kegiatan ilmiah, kegiatan birokrasi hingga keagaaman dibatasi ketat.
Bahkan di negara-negara Timur Tengah, peribadatan dan tata tertib ibadah dirombak. Di Iran untuk 2 bulan pemerintah Iran melarang Jumatan, di Kuwait Adzan Sholat diganti/disesuaikan dan di Arab Saudi, jamaah Umroh dilarang masuk masjid dan kini sedang dibahas oleh lintas negara-negara muslim untuk penundaan/peniadaan Haji tahun 2020.
Di satu sisi, pandemi Covid 19 sebagaimana dilaporkan Bank Dunia telah menghabiskan anggaran tambahan mencapai US$ 20 miliar dalam 2 bulan terakhir. Bahkan MF (2020) menyebutkan akibat pandemi Covid 19, telah terjadi peningkatan utang luar negeri mencapai kenaikan sebesar 15%.Semua itu lantaran diperlukan anggaran cadangan kebencanaan yang besar di tiap negara, dan banyak negara yang tidak mampu mendanai pembiayaan untuk pencegahan, kampanye, pengobatan dan rehabilitasi akibat pandemi Covid 19.
Dalam landscape Indonesia, presiden Joko Widodo juga menegaskan agar semua satuan organisasi publik (kementerian, lembaga, Pemda dan BUMN/D) bersatu padu untuk mengalihkan dan menguatkan anggaran di instansinya masing-masing guna menyediakan berbagai sarana-prasarana untuk penanggulangan Covid 19. Seperti disampaikan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, pemerintah pun telah menambah anggaran khusus penanggulangan Covid 19 hingga Rp 10 triliun.
Pangkas yang Tidak Penting
Di luar musibah teror dan predator Covid 19 yang menguras banyak anggaran bencana di berbagai instansi, ekonom Avilliani (2020) justru menyebutkan covid 19 juga mendatangkan ‘berkah’ lain berupa ‘penghematan anggaran negara dan daerah’. Ko begitu?
Pertama, diakui pemerintah bahwa pasca kebijakan isolasi dan penghentian kegiatan yang mengumpulkan banyak orang dalam satu media/forum guna menghindari kontak fisik, dan diharapkan semua warga bisa berada di rumah masing-masing, bisa dihemat pengeluaran di tingkat warga dan instansi pemerintahan di berbagai tingatan.
Kegiatan ‘kumpul-kumpul, seperti kegiatan sosialisasi, kampanye dan atau pelatihan-pendidikan yang biasanya per hari mencapai ratusan kegiatan dengan biaya sewa hotel atau menyediakan dana konsumsi hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah ternyata bisa ditunda/dibatalkan sehingga terjadi penghematan anggaran negara/daerah yang signifikan.
KPK (2020) menyebutkan bahwa pembatalan banyak kegiatan sosialisasi yang mengumpulkan banyak peserta/warga untuk suatu acara di ruang pertemuan, rumah makan atau hotel, (meskipu di satu sisi mengurangi pendapatan bisnis perhotelan dan pariwisata karena berkurangnya jumlah kunjungan—red), di sisi lain bermakna positif mengajari dan mendidik warga / orang untuk hidup seperlunya, dengan dana yang bisa dihemat lumayan signifikan.
Diketahui, dalam waktu 2 bulan terakhir, terdapat 12 kementerian dan lembaga di tingkat pemerintah pusat dengan anggaran Rp 690 juta untuk kegiatan sosialisasi kebijakan negara/pemerintah di berbagai bidang, dan sebanyak 67 kegiatan diklat di 9 kementerian/lembaga dengan anggaran sebanyak Rp 872 juta, berkat Covid 19 akhirnya ‘ditunda/ dibatalkan’.
Kondisi serupa terjadi di berbagai Pemda yang dalam 2 bulan terakhir berencana menggelar kegiatan sosialisasi dan diklat berbagai kebijakan pemerintah akhirnya batal/ditunda dengan nilai yang cukup signifikan bisa dihemat mencapai Rp 72,8 miliar. Setali tiga uang dengan penundaan/penghentian kegiatan serupa dari lingkungan BUMN/BUMD, ternyata bisa dihemat dana segar mencapai Rp 765 miliar lebih (Sindo, 16/3/2020).
Kedua, penghematan biaya perjalanan dinas, studi banding dan konsultasi. Diakui, selama ini pemerintah amat rumit dan sulit membendung derasnya anggaran perjalanan dinas, studi banding dan konsultasi dari berbagai instansi pusat hingga daerah, termasuk perjalanan dinas para pejabat BUMN/D di berbagai tingkatan.
Rata-rata setiap bulan biaya negara/daerah yang harus disediakan untuk keperluan perjalanan dinas mencapai Rp 2,8 triliun untuk 29 ribu pejabat pusat daerah yang untuk dan atas nama ‘perjalanan dinas’. Dengan hadirnya Covid 19, terbukti ampuh untuk mengerem para pejabat dan birokrat di berbagai tingkatan bepergian ke luar kantor yang biasanya atas nama ‘perjalanan dinas, studi banding, studi komparatif atau konsultasi’.
Perjalanan dinas para pejabat dan birokrat berdasarkan laporan BPK (2020) menjadi salah satu ‘biang kerok’ pemborosan APBN/APBD dan BUMN/BUMD lantaran selama ini belum ditemukan formulasi output dan outcomenya.
Untuk dan atas nama koordinasi dan konsolidasi lintas pimpinan / pejabat di berbagai tingkatan, perjalanan dinas ternyata bisa berpotensi dan beraroma korupsi karena menyedot keuangan negara/daerah/BUMN/BUMD yang tidak sedikit.
Dana-dana perjalanan dinas para pejabat/birokrat negara/daerah/BUMN dan BUMD itu sebenarnya bisa dimanfaatkan untuk agenda lain yang lebih bermakna sosial luas, termasuk salah satunya untuk back up anggaran penanggulangan kebencanaan, termasuk bencana kesehatan pandemi Covid 19.
Hanya sayangnya, amat jarang pejabat pengguna anggaran di berbagai level yang menyadarinya sehingga selama ini biaya perjalanan dinas, studi banding atau konsultasi yang menyedot dana negara/daerah yang tidak sedikit itu justru tak jelas pemanfaatan sosialnya, karena cenderung menjadi hotbed ‘sripilan’ dari para pejabat/birokrat.
Hadirnya Covid 19, diyakini signifikan ‘mengerem’ angggaran negara/daerah/BUMN/BUMD serta mampu menjadi pelajaran berharga bagaimana strategi efektif upaya penghematan anggaran yang selama ini amat kerepotan dan kesulitan untuk direalisasikan.
Demikian pula dalam landscape pendidikan nasional, anggaran-anggaran wisata siswa, studi banding atau anggaran-anggaran untuk kegiatan Diklat kependidikan, sekolah, kampus, dengan hadirnya Covid 19 bisa ditekan signifikan dan Kemendiknas mengakui mampu menekan jumlah dana pendidikan secara signifikan.
Biasanya rata-rata setiap bulan diperlukan dana segar di dunia pendidikan mencapai Rp 12 miliar lebih, dan dana-dana tersebut kini akan dimanfaatkan untuk upaya edukasi pandemi Covid 19 sehinga bisa dihemat signifikan (Koran Tempo, 17/3/2020).
Oleh karena itu, hemat penulis (meskipun diyakini bersifat sementara—red), fakta menunjukkan bahwa tanpa harus perjalanan dinas, studi banding, sosialisasi atau diklat dan wisata siswa/pejabat/birokrat, ternyata tidak berpengaruh pada kualitas pemerintahan, pembangunan dan layanan publik.
Maknanya, pos-pos kegiatan yang selama ini menguras dana/anggaran negara/daerah/BUMN/BUMD yang sudah diketahui hanya konsumtif, menghasilkan hura-hura (atau paling banter hanya jadi ajang selfie kolektif—red), jauh dari produktif guna meningkatkan kinerja kelembagaan publik, tetapi karena sudah jadi tradisi sehingga dianggap biasa dan terus berlanjut; saatnya untuk dihentikan segera pasca Covid 19 sekali pun.
Selanjutnya sebagai langkah preventif ke depan, semua desainer dan pengguna anggaran negara/daerah/BUMN/BUMD saatnya prospektif berpikir bagaimana mengembangkan inovasi anggaran yang pro kebencanaan yakni ada atau tidanya bencana apa pun, sudah saatnya disediakan dana-dana negara/daerah/BUMN/BUMD khusus untuk penanggulangan kebencanaan sehingga selalu sigap dan siapa dalam merespon berbagai jenis dan ragam bencana, termasuk bencana pandemi Covid 19.
Di sinilah perlunya kecermatan dan kepedulian para desainer dan pengguna anggaran publik di berbagai level untuk bersama-sama pedulu anggaran pro kebencanaan agar tidak gagap dan akhirnya mengorbankan semuanya.
Termasuk berani melakukan pemangkasan anggaran yang selama ini dinilai " tidak penting". Maka hadirnya Covid 19 disamping harus terus diperangi bersama-sama lintas komponen bangsa, juga berefek positif yakni mampu menguatkan dan menghemat anggaran negara/daerah/BUMN/BUMD. Kita semua berharap Covid 19 segera sirna dari muka bumi ini, dan segera penguatan anggaran publik tersebut disoapkan diberbagai lini. Begitu! (*)