Ngopi Pagi
FOKUS Achiar M Permana : Andil Wadyabala Wanara
TERSEBUTLAH, Sri Rama nyaris patah arang ketika upayanya menuju Alengka terhalang. Lautan luas membentang.
Oleh Achiar M Permana
Wartawan Tribun Jateng
TERSEBUTLAH, Sri Rama nyaris patah arang ketika upayanya menuju Alengka terhalang. Lautan luas membentang.
Kalau hanya memikirkan dirinya sendiri, rasanya laut seluas apa pun, samudera sedalam apa pun tak menjadi soal. Panah Guwawijaya bisa mengeringkan lautan dalam sekejap. Dengan sangat mudah.
Persoalannya, dia harus membawa serta ribuan wadyabala wanara, bala tentara kera anak buah Prabu Sugriwa. Tidak mungkin, Rama memaksa ribuan kera itu mengorbankan diri, mencebur ke lautan mahaluas.
Sebenarnya, para kera itu siap bertaruh nyawa. Beberapa dari mereka nekat menyeberang. Namun, belum sampai satu kilometer mereka berenang, ombak yang kuat mengempaskan mereka kembali ke pantai.
Alengkadiraja ada di seberang lautan. Di kerajaan Rahwana itu, Dewi Sinta, menunggu diselamatkan.
Ya, hampir saja, Rama melepaskan panah Guwawijaya, senjata pamungkasnya. Ketika hal itu hendak dilakukannya, Hyang Baruna, sang penguasa laut mencegah. "Jangan, laut bisa kering karena tuah Guwawijaya.
Para makhluk laut bisa mati karena hawa panasnya," kata Hyang Baruna.
Apa pilihan Rama kemudian? Dia memutuskan untuk membangun tambak atau tanggul demi mencapai Alengka. Dengan bantuan wadyabala kera dan juga dukungan para makhluk laut atas titah Hyang Baruna.
"Jadi, tanpa andil para kera, wadyabala wanara, mustahil jembatan itu bisa dibangun ya, Kang?" celetuk Dawir, sedulur batin saya, tiba-tiba.
Kisah Rama Tambak yang menjadi bagian wiracarita Ramayana itu mendadak hadir ke benak saya, di tengah pandemi virus corona atau Covid-19, yang kini melanda negara kita. Saya membayangkan, pemerintah kita saat ini serupa dengan Sri Rama, yang sedang berupaya untuk menyelesaikan "misi besar", menuntaskan pandemi corona dan segala eksesnya.
Hingga 22 April 2020, angka positif Covid-19 di Indonesia bertambah 283 kasus. "Kini, total ada 7.418 kasus positif Covid-19, 635 orang di antaranya meninggal dunia," kata Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, kepada publik lewat siaran langsung kanal Youtube BNPB Indonesia, Rabu (22/4/2020).
Semua kasus tersebar di 34 provinsi. Adapun provinsi dengan kasus tertinggi tetap di DKI Jakarta.
Angka kematian positif penyakit karena virus Corona itu bertambah 19 orang sejak sehari lalu sehingga total ada 635 orang yang meninggal. Angka orang yang sembuh masih lebih banyak, yakni 913 orang.
Rasanya, tidak mungkin pemerintah bekerja sendirian. Tidak mungkin pemerintah, sekuat apa pun, menghadapi virus tak kasat mata, yang setiap hari merenggut ribuan nyawa di seluruh dunia. Rakyat harus membantu dengan berbagai cara, mulai dari patuh pada protokol kesehatan, lebih banyak berdiam di rumah saja, serta--kalau memungkinkan--mengulurkan tangan untuk meringankan beban tenaga medis dan masyarakat yang terdampak pandemi.
"Kita adalah wadyabala wanara, yang mesti mau cancut taliwanda membantu Sri Rama ya, Kang?" celetuk Dawir lagi.
Doa
Beberapa dalang memainkan lakon Rama Tambak sebagai "semacam doa", untuk mengatasi pelbagai masalah yang menimpa bangsa. Pada 1998, seingat saya, dalang setan asal Karangpandan, Ki Manteb Sudarsono, memainkan lakon Rama Tambak, di tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Pentas itu antara lain digelar di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, pertengahan Januari 1998, dan kemudian berlanjut ke kota-kota lain, mulai dari Bandung, Solo, Yogyakarta, hingga Surabaya.
Dalam buku Merenung sampai Mati, budayawan yang juga guru saya, Prie GS, mengabadikan kisah Pak Manteb yang memainkan lakon Rama Tambak itu. "Jika aneka krisis di Indonesia ini benar-benar selesai setelah Ki Manteb memainkan lakon Rama Tambak, dalang itu pastinya akan menjadi hero baru di Indonesia. Inilah dalang yang mengawali pentas besar-besaran Rama Tambak, lakon yang secara beruntun dimainkan oleh semua dalang top di negeri ini.
Ki Manteb, tulis Prie GS, benar-benar serius mempersiapkan diri untuk pementasan Rama Tambak tersebut. "Manteb sendiri mengaku harus menempuh laku dan melupakan penyakit mag di lambungnya demi persiapan pentas ini." (Prie GS, 2004).
Pada 2005, saya menyaksikan langsung Ki Anom Suroto, dalang yang terkenal dengan suara "kung" dari Solo, memainkan lakon yang sama di Semarang. Saat itu, pentas berlangsung tidak lama setelah gempa dan tsunami melanda Aceh, pada pengujung 2004. "Mudah-mudahan, dengan lakon Rama Tambak ini, bisa menambak Semarang dari kemungkinan terjadi tsunami," kata Ki Anom, ketika itu.
"Mudah-mudahan, Rama Tambak juga bisa menambak corona ya, Kang," kata Dawir, yang seketika saya amini. (*)