Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Liputan Khusus

Sudah 10 Napi Bebas Program Asimilasi Berulah, Disiapkan 220 Petugas Awasi Aktivitas Narapidana

Polda Jateng telah mengamankan sepuluh orang pelaku kejahatan. Di mana 10 orang tersebut merupakan mantan narapidana yang telah dibebaskan

The Guardian
Ilustrasi penjara. 

Padahal, tipologi kejahatan tertentu sebenarnya tidak perlu penahanan rutan atau pidana penjara. Seperti penyalahguna narkotika, pencurian, terhadap anak, perempuan yang sedang hamil atau mengasuh anak, atau bila kejahatan bukan jenis kekerasan dan bukan pengulangan.

Bila melihat data statistik kriminal BPS, tren umum kejahatan di Indonesia sebenarnya menurun. Demikian pula dengan crime rate (peristiwa kejahatan per 100.000 penduduk).

Namun sebaliknya, angka pemenjaraan meningkat dari tahun ke tahun, meski ada penurunan untuk angka penahanan. Satu masalah serius lain yang turut menambah overcrowding adalah overstaying tahanan (mereka yang ditahan melebihi batas penahanan atau perpanjangan penahanan)

Problem hulu ini sekali lagi lepas dari kewenangan Ditjenpas. Untuk mengurangi overcrowding, penegak hukum perlu memilah secara baik kejahatan seperti apa yang perlu penahanan dan pemenjaraan. Overcrowding ini cikal bakal dari sebagian besar masalah yang ada di Lapas/Rutan

Beberapa masalah di Lapas/Rutan sebagai akibat dari overcrowding adalah sulitnya memberi ruang yang manusiawi bagi tahanan/narapidana. Termasuk sulitnya memenuhi kebutuhan minimum yg ditetapkan oleh Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners, PBB tahun 1955.

Kerusuhan, kekerasan antar narapidana, juga dilatari oleh overcrowding. Core Bussiness Pemasyarakatan, yaitu pembinaan juga akan sulit dilakukan dengan jumlah narapidana yang melebihi kapasitas daya tampung. Inilah mengapa keikutsertaan maksimal dalam pembinaan sulit dicapai.

Overcrowding inilah yang meningkatkan kerentanan Lapas/Rutan terhadap penyebaran Covid-19. Berbagai upaya pencegahan yang dilakukan akan tidak signifikan bila virus masuk ke dalam. Sebuah narasi di media menyebut, ketika tembus, Lapas/Rutan mungkin jadi "kuburan massal".

Melepaskan narapidana melalui peraturan menteri tgl 30 Maret lalu, hanyalah upaya hilir dalam mencegah penyebaran Covid-19, atau overcrowding umumnya. Bila masalah hulu tidak diperhatikan, kebijakan ini relatif tidak bermanfaat. Masuknya tahanan dan terpidana baru adalah masalah.

Apakah kebijakan ini spesial? Sebenarnya tidak ada yang istimewa atau baru dengan kebijakan ini, karena setiap tahun selalu ada narapidana baru yang bebas atau diberikan pembebasan bersyarat. Untuk 2020 ini saja, ada lebih dari 40.000 narapidana yang eligible untuk pembebasan bersyarat.

Satu-satunya hal yang berbeda adalah percepatannya, atau mereka dikeluarkan dalam waktu relatif serentak. Ini di satu sisi baik, namun memang muncul isu lain menyangkut kemampuan Pembimbing Kemasyarakatan Bapas di dalam melakukan pengawasan dan pembimbingan.

Selain itu ada pula isu lain menyangkut sejauh mana kesiapan keluarga dan masyarakat di dalam memberikan fasilitasi para narapidana agar dapat bertahan hidup. Kemampuan Bapas yang terbatas, minimnya fasilitasi keluarga dan masyarakat bisa jadi masalah.

Satu-satunya mekanisme yang harus diperkuat adalah pengawasan. Sesuai PP 32 thn 1999 (diubah menjadi PP 99 thn 2012), narapidana yang asimilasi dan PB terikat ketentuan. Bila melanggar aturan asimilasi/PB, maka hak ini akan dicabut. Terlebih bila kembali melakukan kejahatan.

Memaksimalkan pengawasan ini bisa diperkuat dengan koordinasi dengan kepolisian setempat. Satu inisiatif menarik dilakukan oleh @bapaspati yang menjalin kerjasama dengan Pemda di dalam pengawasan asimilasi dan PB. Khususnya memastikan narapidana berada di rumah.

Pertanyaan berikutnya? Apakah narapidana yang dilepaskan ini akan mengancam keamanan masyarakat? Untuk menjawab ini, perlu melihat data. Satu hal yang pasti, residivisme adalah gejala yang ditemukan di manapun di dunia, dengan persentase berbeda-beda.

Ada 4 tipologi kejahatan dengan persentase residivisme tertinggi (diukur 5 tahun setelah bebas), yaitu pencurian, narkotika, gangguan ketertiban sosial, dan kekerasan. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Indonesia?

Halaman
123
Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved