Berita Internasional
Ribuan Eks Petempur Suriah di Libya Diam-diam Menyusup ke Eropa, Ada Apa?
Selama lima bulan terakhir hampir 2.000 anggota milisi bersenjata Suriah yang didukung Turki yang diangkut ke Libya telah melarikan diri
Ketidakpuasan terjadi karena Turki membiarkan kondisi serba buruk dihadapi para milisi itu.
Organisasi itu menyatakan telah menerima rekaman audio seorang pejuang Suriah mengatakan dia menyesal pergi ke Libya.
Ia mengatakan Turki hanya membayar satu bulan dari gaji $ 2.000 (USD) dan gagal memenuhi janji-janji yang mereka buat sebelum para petempur militan itu berangkat.
“Turki membayar gaji kami hanya satu bulan. Itu belum berarti banyak buat kami. Bahkan rokok, kami sulit mendapatkannya,” kata narasumber SOHR.
“Kami tinggal di sebuah rumah tetapi kami tidak bisa keluar darinya, karena pasukan Haftar dikerahkan di seluruh wilayah," imbuhnya.
“Kita semua ingin kembali ke Suriah,” ujarnya.
Dilaporkan tak kurang 150 petempur asal Suriah tewas sejak mereka tiba di Libya beberapa pekan lalu.
Mereka digempur hebat oleh pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Marsekal Khalifa Haftar, yang terus bergerak maju merebut Libya dari seterunya yang disokong Turki.
Di antara yang tewas terdapat tokoh elite Tentara Pembebasan Suriah (Free Syrian Army). Kelompok ini pernah bercokol kuat di Suriah utara sebelum dipukul mundur ke Idlib dan sekitarnya.
Pasukan LNA yang didukung Qatar dan Rusia, sekarang menguasai mayoritas wilayah Libya. Bahkan semua titik perbatasan Libya-Tunisia, telah mereka rebut.
Kenyataan ini jadi pukulan besar bagi pemerintah GNA yang berbasis di Tripoli. Turki belum berbuat banyak menanggapi situasi kritis yang dihadapi GNA.
Serangan terbesar sejak Turki mengirimkan bala bantuan terjadi bulan lalu, ketika pasukan Marsekal Khalifa Haftar meledakkan kapal pembawa senjata dan amunisi Turki.
Dikutip dari Sputniknews.com, serangan kelompok Libyan National Army (LNA) dilakukan di pelabuhan Tripoli, Selasa (18/2/2020).
Turki secara terbuka mendukung Government National Accord (GNA) yang dipimpin Faisal Saraj. Mereka mengirimkan tentara dan penasehat militer ke Tripoli.
GNA berkedudukan di Tripoli, dan mendapat pengakuan PBB serta sejumlah negara. Sementara LNA yang bermarkas di Tobruk, didukung Rusia, Mesir, dan Qatar.