Berita Video
Video Kisah Ibnu Masngud Mantan Pendeta Jadi Mualaf dan Nyantri
Ibnu Masngud (55) rela meninggalkan harta dan keluarganya di Mojokerto. Tentu tanpa alasan ia meninggalkan hal dunia dan memilih pindah ke kebumen
Penulis: khoirul muzaki | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM, KEBUMEN - Berikut ini video kisah Ibnu Masngud mantan pendeta jadi mualaf dan nyantri
Lantunan suara azan menggema dari sebuah masjid di lingkungan Pondok Pesantren Al Hasani Desa Jatimulyo, Kecamatan Alian Kebumen.
Dari bibir seorang pria sederhana, kalimat itu terlontar. Ia berpakaian koko dengan bawahan sarung, serta peci hitam yang warnanya telah memudar.
Berdiri tegap menghadap kiblat, pria itu tampak penuh semangat. Ia coba mengatur nafas, lalu mengumandangkan azan dengan nada lantang.
Siapa sangka, muazin itu adalah orang yang belum lama belajar Islam (mualaf).
Dia lah Ibnu Masngud, nama yang belum lama dia sandang.
Tak dinyana, ia yang bernama asli Agus Setiono dulunya adalah pemuka agama di Jawa Timur. Namun kini ia menjelma menjadi warga biasa.
Tapi ia bersyukur karena nikmat hidayah itu datang padanya. Suatu malam, ketika ia menatap langit, di sana tampak keajaiban.
Entah mengapa, bintang-bintang di angkasa berjalan membentuk lafaz Allah dalam huruf Arab. Ini bukan kebetulan tentunya.
Pemandangan itu seketika menggoyahkan imannya. Hingga ia mantab, Tuhan yang mestinya disembah adalah Allah, dalam kepercayaan agama Islam.
"Ibnu Masngud artinya anak yang beruntung," kata Kiai Asyhari Muhammad Al Hasani pengasuh Ponpes Al Hasani Kebumen, kemarin.
Agus memutuskan mualaf kemudian. Ia berganti nama menjadi Ibnu Masngud.
Tapi pindah agama bukan perkara mudah baginya. Ia harus siap dengan segala konsekuensinya.
Terlebih ia pendeta yang biasa jadi panutan. Masngud akhirnya memutuskan meninggalkan segalanya yang berhubungan dengan masa lalunya.
Ia harus berpisah dengan istrinya. Anaknya pun dia tinggalkan karena enggan mengikuti keyakinannya.
Seluruh harta dan fasilitas mewah yang dia miliki dia tinggalkan untuk keluarga.
Seketika Masngud tak memiliki apa-apa, kecuali iman yang menancap kuat di dadanya.
Ia meninggalkan jauh kotanya, lalu hijrah ke Kebumen Jawa Tengah mengikuti pembimbingnya, Kyai Asyhari Muhammad Al Hasani atau Gus Hari.
Tiada bekal yang dibawanya, kecuali baju yang melekat di badan.
"Dia tinggalkan semua, harta, keluarga,"katanya
Masngud harus memulai semuanya dari nol kembali. Tapi ia sudah tidak berambisi mengejar duniawi.
Ia hanya ingin mendalami ilmu agama dan mengabdi pada Ilahi. Masngud tak malu belajar Islam bersama para santri yang usianya jauh lebih muda.
Di luar itu, ia memilih mengisi hari-harinya dengan membersihkan makam di lingkungan pesantren.
Sapu lidi jadi pegangannya setiap hari untuk menyingkirkan sampah dari tanah makam.
Tetapi ia bersyukur dengan rutinitasnya itu. Dengan begitu, ia bisa terus mengingat kematian untuk meneguhkan iman.
"Dia sudah istikamah di pesantren, bersih-bersih masjid dan makam," katanya.
Tak dipungkiri masih ada ruang hampa dalam kehidupannya. Sebab ia tidak lagi punya keluarga. Jika sepi melanda, hatinya akan merana.
Ingatannya akan kembali pada keluarga yang pernah bersama.
Tapi sedih itu perlahan terobati. Seorang gadis desa, Sariasih (30), berhasil mencuri hatinya.
Perjalanan cinta mereka amat sederhana, tak serumit dalam drama.
Sebab mereka dipertemukan dengan tujuan mulia. Hingga keduanya merasa cocok, lalu berikrar untuk saling menerima.
Ini lah impian Masngud, bisa menikah dengan wanita muslimah untuk saling menjaga iman. Masngud kini tak perlu lagi merasa sepi.
Ada wanita yang selalu mendampingi, berjuang menggapai rido Ilahi.
"Cita-cita beliau tentu menyempurnakan rukun Islam ke Baitullah," katanya. (*)
Tonton Juga dan Subscribe :