Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Forum Mahasiwa

Forum Mahasiwa Mukhlis Mustofa : Sekolah Bukanlah Keranjang Masalah

ARTIKEL Ferdinand Hindiarto opini di Tribun Jateng, Rabu 10 Juni 2020 berjudul "Kembali ke Sekolah, Beranikah?" mengampanyekan nilai positif

tribunjateng/cetak/grafis bram kusuma
Guru Dalam Keterkungkungan Zonasi. Opini ditulis oleh Mukhlis Mustofa, S.Pd.,M.Pd/Dosen Unisri Surakarta 

Mukhlis Mustofa
Oleh Mahasiswa S3 Pendidikan IPS Unnes

ARTIKEL Ferdinand Hindiarto opini di Tribun Jateng, Rabu 10 Juni 2020 berjudul "Kembali ke Sekolah, Beranikah?" mengampanyekan nilai positif keberadaan sekolah tidak semata-mata lokasi belajar anak, namun pengembangan pendidikan seutuhnya yang tidak ditemukan dalam sistem pembelajaran dalam jaringan (daring).

Saya tidak serta merta mengajak head to head dengan tulisan tersebut, namun mereposisi bagaimakah persepsi khalayak pada pelaksanaan sekolah dalam sistem pendidikan negeri ini, utamanya pada masa pandemi Covid-19 saat ini.

Sekolah sebagai entitas sosial saat ini “dipaksa” menerima deraan masalah sporadis. Apapun gerak sekolah pada masa pandemi ini menjadi sorotan publik tanpa kompromi. Hingga di media sosial sempat dimunculkan tagar "guru makan gaji buta" karena dipersepsikan tidak melaksanakan kegiatan pembelajaran, namun tetap digaji oleh penyelenggara pendidikan.

Sekolah beserta segenap warganya dipersepsikan sebagai zombie dalam segala arah. Guru tidak melaksanakan pembelajaran daring dianggap guru tidak siap perubahan, guru melaksanakan pembelajaran daring dianggap tidak peka kondisi ekonomi karena memberatkan orang tua untuk membeli kuota hingga sekolah swasta tetap menarik uang Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan dianggap tidak punya empati di tengah pendemi.

Mayoritas semua pihak menuduh pendidikan tidak peka, penyelenggaraan sekolah swasta dianggap tidak berempati ditengah pendemi, bahkan dalam detik.com 13 April 2020 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) merilis laporan 213 aduan siswa mayoritas berisi keluhan para siswa terkait beratnya beban tugas yang harus mereka kerjakan selama belajar di rumah.

Sporadisnya tuntutan pada dunia pendidikan menyikapi dampak pandemi ini memunculkan sebersit keprihatinan, bagaimana tidak, gugatan demi gugatan dunia pendidikan yang dianggap sedemikian membara, sementara khalayak abai dengan permasalahan ini.

Deraan permasalahan ini belum sepenuhnya diperhatikan di masa pandemi ini, bahkan terkesan dunia pendidikan harus termarjinalisasi dan tidak menyumbang peran untuk menyejukkan diri di masa pandemi ini. Pertanyaan besar pun mengemuka, bagaimanakah selayaknya memposisikan kesetaraan pendidikan tanpa saling menyakitkan, merupakan pertanyaan utama berkaitan kondisi persekolahan saat ini.

Biang keladi masalah
Sekolah sama dengan masalah, bahkan pendidikan pun dianggap sebagai public enemy dan Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menjadi pihak yang dicari untuk terus dibully. Patut disadari tidak ada pihak di muka bumi ini yang menginginkan kondisi pandemi ini muncul sehingga menimpakan dan menyalahkan sekolah dalam segala langkah merupakan kesalahan sangat besar. Kesetaraan peran pendidikan selayaknya dikedepankan dibandingkan menempatkan sekolah sebagai keranjang sampah masalah ekses pandemi.

Karya best seller Roem Topatimasang “Sekolah Itu Candu” medio 1998 dengan hakikat peserta didik terbius dengan sekolah sehingga melupakan fenomena sosial di sekelilingnya perlahan-lahan mulai menuai hasilnya. Khalayak negeri ini nampaknya sedemikian akut sudah terjangkiti candu sekolah ini, sehingga seluruh hakikat kualitas pendidikan berpusat pada sekolah.

Merujuk definisi sekolah dalam pembukaan buku tersebut dinyatakan sekolah berasal dari etimologis Yunani: skhole, scola, scolae, atau schola secara harafiah waktu luang atau waktu senggang terjemah waktu senggang untuk belajar.

Konteksnya pada masa pandemi ini sekolah selayaknya tidak hadir secara formal, namun hadir dalam segala tindakan keseharian. Linieritas kehidupan ini nampaknya sejalan dengan jargon pendidikan yang diungkapkan Mendikbud bahwa pada masa kini adalah masa merdeka belajar. Konteks sosiologis yang harus dikonstruksikan sebenarnya teramat jelas: sekolah sebagai salah satu entitas budaya masyarakat selayaknya menjadi stimulus budaya kekinian, bukan penggiringan opini kebenaran absolut.

Perspektif cerdasnya sekolah bukanlah segala-galanya menentukan karakter bangsa. Persepsi inilah yang selayaknya harus diluruskan semua pihak sehingga kesetaraan peran mengemuka, dibandingkan membawa diskursus pendidikan tak berkesudahan. Terbiusnya candu sekolah diawali dengan bagaimanakah persepsi layanan pendidikan selama ini.

Mainstream pendidikan hingga saat ini masih simpang siur dan pola yang berlaku bersifat sedemikian bias. Parahnya konstruksi publik selama ini berada di zona nyaman manakala menyikapi pendidikan, terutama penyelenggaraan sekolah. Idiom yang muncul jika anak berhasil dalam pendidikan, siapa dulu dong orangtuanya. Namun manakala sang anak bermasalah dalam pendidikan siapa sih gurunya, bersekolah di mana sang anak?

Kontrol sosial pada sekolahpun lebih pada mekanisme balas dendam penyelenggaraan.

Aktivasi edukasi

Persepsi ini sedemikian kuat terbuka mengingat pembelajaran di negeri ini tersandera pada gebyar pelaksanaan, namun esensinya sangat jauh dari harapan. Permasalahan inilah yang selayaknya diselesaikan dengan proporsional tidak sekadar memaksakan salah satu pola persekolahan. Pelibatan aktif seluruh komponen pendukung pendidikan ini menjadi pekerjaan simultan seluruh kalangan. Proporsionalitas peran kedua belah pihak ini untuk mencairkan hubungan agar pembelajaran semakin konstruktif.

Persepsi umum selama ini sebagian orang tua mempersepsikan bahwa sekolah satu-satunya pola pendidikan formal yang sangat menentukan. Pemikiran ini menjadikan mekanisme “pasrah bongkokan” pada sekolah teramat rentan untuk terus digunakan. Menyikapi pandemi ini penyikapannya haruslah konstruktif dengan mempertimbangkan berbagai kondisi penunjang pendidikan di lapangan. Upaya konkrit yang bisa dilakukan diantaranya koordinasi faktor pendukung pendidikan menjadi langkah utama bagi kerbelangsungan edukasi di sekolah pada masa pendemi ini.

Dirjen PAUD Dikdasmen, Hamid Muhammad mengatakan, pembukaan sekolah hanya diutamakan untuk wilayah yang telah dinyatakan bebas dari penyebaran virus corona (aceh.tribunnews.com) menjadi wahana koordinasi proporsional bahwa pendidikan bukan menjadi tanggung jawab sepenuhnya sekolah, namun harus mempertimbangkan elemen lain. Pembukaan lagi sekolah ini tentunya memerlukan kerjasama proaktif semua lini suatu negeri dan teramat tidak tepat menimpakan sekolah semata.

Selayaknya semua pihak menahan diri dan saling mendukung agar hadirnya peran sekolah dalam pengembangan pembelajaran bagi anak bangsa ini segera terpenuhi. Ilustrasinya jika menginginkan sekolah berjalan normal selayaknya protokol kesehatan lebih dilaksanakan proporsional.

Keberpihakan sekolah swasta

Bukannya menganakemaskan satu layanan pendidikan dibandingkan layanan pendidikan lainnya, namun di tengah pendemi ini sekolah swasta merupakan sekolah yang terdampak langsung dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Salah satu kebijakan lanjutan menyatakan dana BOS (Bantuan Operasional Siswa) diperbolehkan untuk pembelian kuota pendukung pembelajaran daring, namun pemenuhan penyejahteraan guru belum tersentuh.

Alangkah elegannya ada kebijakan berkaitan perut sang guru agar pembelajaran terus menderu.
Keberpihakan berkaitan kebijakan penyelenggaran ini teramat dinantikan, hal ini bisa dilakukan dengan membuka keran kebijakan untuk kesejahteraan pendidikan, jika dimungkinkan dan tidak menyalahi ketentuan sebagian dana BOS bisa dimanfaatkan untuk menyelamatkan sang pamong. Perspektif baru penyelenggaraan edukasi di masa pendemi selayaknya menjadi pola baru bagaimanakah selayaknya publik mensikapi edukasi dengan pola lebih peduli.

Sekolah bukanlah pelengkap penderita namun sebagai oase kekeringan pendidikan sehingga harus diselamatkan. Masa pandemi selayaknya menjadi masa merefleksikan diri dalam menjalankan edukasi. Jika memilih sekolah sebab alasan idealisme, baik agama atau jaminan mutu sekolah, maka di saat ini idealisme itu diuji. Peneguhan idealisme ini layaknya romatisme cinta tidak terhalang usia. Cinta butuh pengorbanan, maka saat pandemi tiba tunjukkan semangat berkorban wahai sang pencinta. (*)

23 Personel Bhabinkamtibmas Polres Salatiga Jalani Rapid Test

Cerah Berawan dan Berawan, Begini Prakiraan Cuaca Kota Semarang Menurut BMKG Hari Ini

BAK SINETRON: Kisah Gadis di Bawah Umur Ini Ditipudaya Komplotan Dijadikan PSK Bertarif Rp 200 Ribu

Donald Trump Tuduh Lansia Pendukung George Floyd yang Terjatuh Didorong Polisi sebagai Antifa

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved