Berita BPJS Kesehatan
Anggota DPR Tolak Iuran BPJS Naik, Legislatif Merasa Dilangkahi soal Pengambilan Keputusan
Putusan Mahkamah Agung dilaksanakan oleh pemerintah. Tetapi itu diabaikan. Makanya mohon maaf seakan-akan kita dikerjain semua sama pemerintah
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Komisi IX DPR RI menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi Covid-19.
Sebab banyak masyarakat yang kondisi ekonominya sulit saat virus Corona merebak di Indonesia.
"DPR menolak kenaikan iuran BPJS. Ini legislatif diabaikan. Karena itu saya minta penghitungan aktuarianya seperti apa biar kita lihat dulu.
Jangan-jangan ini asal-asalan juga kenaikannya," kata Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan pemerintah dan Dirut BPJS Kesehatan, Kamis (11/6).
Rencananya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan berlaku mulai 1 Juli setelah pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Terkecuali untuk peserta kelas III, kenaikan iuran berlaku mulai 2021.
Padahal Mahkamah Agung (MA) sebelumnya telah mengabulkan permohonan judicial review terkait Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Dalam putusan tersebut, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020.
"Kita berharap putusan Mahkamah Agung dilaksanakan oleh pemerintah. Tetapi itu diabaikan. Makanya mohon maaf seakan-akan kita dikerjain semua sama pemerintah, ada sebuah lembaga institusi demokrasi di Indonesia yang dilangkahi oleh pemerintah.
Coba lihat itu Mahkamah Agung itu kan adalah suatu lembaga yang disebut dengan yudikatif. Keputusannya diabaikan oleh pemerintah," jelasnya.
Anggota Komisi IX DPR RI Kurniasih Mufidayati juga menyayangkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi COVID-19.
"Sekali lagi, kita sudah membahas berkali-kali apakah kita tidak bisa tata kelola dan persoalan, kendala-kendala, tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan BPJS Kesehatan ini tidak dibebankan kepada rakyat Indonesia yang saat ini semuanya sedang mengalami pandemi. Itulah yang sangat kita sayangkan," ujarnya.
Ketua Komisi IX DPR, Felly Estelita Runtuwene juga menilai tidak tepat jika kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan di tengah pandemi COVID-19.
"Jadi belum tepat kalau untuk masalah bicara iuran ini untuk kita naikkan lagi, belum tepat untuk saat ini. Kalau kita bicara nanti ekonomi kita sudah stabil dan lain sebagainya.
Kita bicara ekonomi hari ini, kita bicara tata kelola, tapi kita lupa urusan sosialnya seperti apa hari ini dampaknya dari pandemi ini," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris menyebutkan defisit BPJS Kesehatan diproyeksikan menyusut jadi Rp 185 miliar pada tahun ini karena adanya kenaikan iuran.
"Mulai bulan Juli (berlaku) Perpres 64 maka pada akhir tahun diproyeksikan kurang lebih situasi semakin lebih baik walaupun masih defisit sekitar Rp 185 miliar," kata dia dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (11/6).
Semula BPJS Kesehatan diproyeksikan surplus Rp 3,791 triliun jika kenaikan iuran sesuai Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan tidak dibatalkan Mahkamah Agung (MA).
"Kalau tadi digambarkan sebelum putusan MA proyeksi surplus Rp 3,791 triliun," sebutnya.
Namun akhirnya iuran BPJS kesehatan kembali sesuai Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Mengacu besaran iuran berdasarkan perpres tersebut maka defisit BPJS Kesehatan diperkirakan mencapai Rp 3 triliun.
Tetapi begitu Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nanti berlaku mulai Juli maka defisit BPJS Kesehatan mengecil jadi Rp 185 miliar.
Dalam beleid Perpres tersebut, iuran untuk kelas I peserta mandiri atau PBPU dan BP menjadi Rp 150.000 per orang per bulan atau naik 85,18%, kelas II menjadi Rp 100.000 per orang per bulan atau naik 96,07%, sedangkan kelas III menjadi Rp 42.000 per orang per bulan atau naik 64,70%.
Kenaikan iuran untuk kelas I dan II mulai berlaku 1 Juli 2020 mendatang, sedangkan kenaikan untuk kelas III baru akan berlaku tahun 2021.
Adapun pada rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX DPR dengan pemerintah, dihadiri pihak Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan Dewan Pengawasan BPJS Kesehatan, serta BPJS Kesehatan.
Rapat dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Emanuel Melkiades Laka Lena ini juga dihadiri oleh Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Dirut BPJS Kesehatan Fahmi Idris.
Ada dua poin yang dibahas dalam RDP tersebut. Pertama, penanggulangan defisit dana jaminan sosial BPJS Kesehatan.
Kedua perbaikan tata kelola sistem pelayanan kesehatan dengan mengedepankan prinsip ekuitas termasuk di dalam hal menjamin manfaat pemulihan kesehatan sesuai kebutuhan dasar kesehatan dan kelas standar. (dtc/kpc/aji)
• Hotline Semarang : Mohon Jalan Kaliwiru Dibuka Lagi
• FOKUS : Dilema Naik Transportasi Umum
• Warga New York Diimbau Pakai Masker dan Kreatif saat Berhubungan Seks, Masturbasi Dinilai Lebih Aman
• Lihat Polisi Diserang di Pinggir Jalan, Pria Ini Bukannya Bantu Malah Berfoto Selfie