Ngopi Pagi
FOKUS : Memaksa Normal di Sekolah
JIKA biasanya memasuki tahun ajaran baru atau bersamaan penerimaan peserta didik baru (PPDB), gegap gempita, sorak gembira menyambutnya terlihat, kini
Penulis: deni setiawan | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Deni Setiawan
Wartawan Tribun Jateng
JIKA biasanya memasuki tahun ajaran baru atau bersamaan penerimaan peserta didik baru (PPDB), gegap gempita, sorak gembira menyambutnya terlihat, kini terkesan biasa-biasa saja.
Contoh para pedagang, pengusaha konveksi, maupun penjahit pakaian seragam sekolah. Terlebih bagi anak-anak.
Masuk sekolah di tahun ajaran baru selayaknya mereka menyambut Hari Raya Idulfitri. Serba baru mulai dari seragam, sepatu, tas, hingga buku. Semua sibuk, baik itu pihak sekolah maupun orangtua. Tetapi denyut nadi kegembiraan itu berbeda di tahun ini.
Kondisi nyaris serupa di kala umat muslim menyambut Lebaran. Ada sesuatu yang hilang. Padahal, bila mengacu pada kalender pendidikan, tahun ajaran baru dimulai pada 13 Juli 2020.
Ya mau bagaimana lagi, itu semua dampak adanya pandemi Covid-19. Meskipun di beberapa daerah telah mengikrarkan diri memasuki fase new normal.
Namun tetap saja, sebagian besar aktivitas masih terbatas atau dibatasi. Berkait itu, yang kini menjadi pertanyaan besar adalah sudahkah sekolah benar-benar siap untuk kembali menerapkan pembelajaran tatap muka di tahun ajaran baru itu?
Ketika menyimak, sebagian sekolah mengklaim siap di masa pandemi ini. Tetapi itu baru sebatas teori, belum tentu pada kenyataannya. Bagaimanapun, jika benar-benar siap, seluruh persiapan harus matang betul. Terlebih ketika merujuk pada panduan penyelenggaraan pembelajaran, dimana disebutkan prinsip kebijakan pendidikan di masa pandemi.
Kesehatan dan keselamatan peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, keluarga, maupun masyarakat menjadi prioritas utama. Meskipun di sekolah tersebut berada di zona hijau Covid-19.
Jangan sampai dari pemaksaan menormalkan aktivitas sekolah justru memunculkan klaster baru di dunia pendidikan. Sebab harus disadari bersama, wabah virus tersebut belum sepenuhnya hilang dan entah kapan berakhirnya. Yang dihadapi bersama saat ini adalah musuh yang tak terlihat.
Belum lagi kepastian tingkat kesadaran anak-anak yang akan masuk sekolah apakah berasal dari lingkungan bebas Covid-19 atau tidak. Lalu kedisiplinan serta keterbiasaan mereka kala di rumah, jika dikaitkan dengan item-item standarisasi protokol kesehatan.
Misal merujuk data per 15 Juni 2020, sekira 94 persen peserta didik berada di zona kuning, oranye, dan merah. Atau berjumlah 429 daerah di Indonesia. Sedangkan yang berada di zona hijau hanya 6 persen atau di 85 daerah. Belum lagi, semisal di Jawa Tengah, pemahaman basis zona hijau Covid-19 adalah kecamatan.
Padahal, zona hijau itu basisnya adalah kabupaten/kota, bukan kecamatan. Inilah yang menjadi pertanyaan penting, sudah benar siap ketika menjalankan situasi normal di sekolah?
Alangkah baiknya, tak perlu tergesa-gesa ketika belum siap. Tak perlu sekolah memaksakan atau terpaksa menjalankan pembelajaran tatap muka. Jika endingnya justru sembunyi tangan atau menyalahkan ketika ada masalah. Belum lagi beban penambahan fasilitas protokol kesehatan ditanggung pula oleh pihak orangtua, karena sekolah tidak cukup dana untuk memenuhi tuntutan.