Berita Regional
Empat Siswa Masuk Sarang Ular demi Belajar Daring: Lagi Bikin Tugas Ular Sanca Tiba-Tiba Nongol
"Kadang lagi mau ngirim tugas ada biawak. Pernah juga ada ular sanca tiba-tiba nongol," kata Firnando.
TRIBUNJATENG.COM, BANDAR LAMPUNG - Para siswa sekolah terpaksa mengikuti pelajaran dari rumah selama pandemi virus corona Covid-19.
Cara belajar dalam jaringan atau belajar daring tentunya membutuhkan biaya ekstra untuk beli kuota internet.
Sayangnya, tak semua anak sekolah bernasib baik, memiliki orangtua yang mampu membelikan kuota internet.
• Oknum ASN Kudus Terlibat Perselingkuhan Tak Biasa, Kepala BKPP: Poliandri Masih Mending, Ini Parah
• SPG Rokok Terlibat Prostitusi Online, Ada 2 Jenis Tarif, Short Time dan Menemani Sepanjang Hari
• Tanpa Menawar, Ada Warga Semarang Siap Beli Tanah dan Mempersunting Janda Cantik Kudus
• Amalan 10 Hari Pertama Bulan Dzulhijjah Idul Adha 2020 Lengkap Beserta Keutamaannya
Cerita ini dialami empat pelajar di Bandar Lampung.
Ali (15), Firnando (15), Rezi (12) dan Faiz (12) tinggal di Jalan Nangka, Gang Stiap, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Kedaton, Bandar Lampung.
Keempat pelajar berbeda jenjang tersebut terpaksa memanfaatkan wifi tetangga sebagai akses internet.
Setiap pagi, mereka duduk berjejer di samping tembok kosan yang memiliki akses internet.
Hanya beralaskan papan, berteduh di bawah pohon pisang, mereka mengikuti pelajaran dengan penuh semangat.
Ali, siswa kelas 10 SMA Gajah Mada menuturkan, mengikuti pelajaran secara daring cukup menguras kuota internet.
Sementara ayahnya, seorang kuli bangunan hanya mampu memberi jatah kuota 1 GB per minggunya.
Sedangkan, kata Ali, kebutuhan untuk mengikuti pelajaran, satu hari bisa memakan Kuota Internet sampai 1 GB lebih.
"Kalau cuma mengirim tugas, paling habis 500 MB.
Tapi kalau ikut Zoom bisa 1 GB lebih," ujar Ali, Kamis (23/7/2020).
Karena tak ingin memberatkan orangtuanya, Ali setiap pagi, bersama tiga kawannya nongkrong di bawah pohon pisang di dekat rumahnya, untuk mendapatkan internet gratis dari wifi yang dimiliki tetangganya.
Menurut Ali, mereka sudah mendapatkan izin dari sang pemilik kosan untuk menggunakan wifi tersebut.
Namun, lanjut Ali, pemilik kosan memberikan syarat, untuk tidak menyebarkan kata sandi wifi ke orang lain.
"Yang punya wifi sudah meninggal.
Tapi dia kasih izin kami buat pake wifinya," kata Ali.
Meski sudah ada alternatif lain pengganti kuota, namun Ali dan temannya masih mendapati kendala.
Terutama saat hujan turun, mereka tidak bisa mengikuti pelajaran pada hari itu.
"Kadang gak bisa absen.
Kadang juga ngirimnya telat jadi gak diterima lagi sama gurunya," timpal Firnando.
Siswa kelas 9 SMP Negeri 19 Bandar Lampung ini mengaku pasrah saat hujan turun di pagi hari.
Karena tak ada pilihan lain selain menggantungkan akses internet dari wifi milik tetangga.
"Kalau kuota ada enak, masih bisa kirim tugas, ikut Zoom."
"Ya kalau lagi gak ada, terpaksa absennya dibuat alpa (tidak hadir)," terangnya.
Tak ubahnya Ali, Firnando pun hanya mendapatkan jatah Kuota Internet dari orangtuanya 1,5 GB perminggu.
Jatah tersebut, diakui Firnando, jauh dari kata cukup, karena penggunaan perhari bisa lebih 500 MB.
Kondisi keuangan ayah Firnando yang hanya bekerja sebagai juru parkir, sangat tidak memungkinkan untuk memberi kuota lebih.
Keberanian Ali dan kawan kawan berburu wifi tetangga jadi perhatian warga sekitar.
Pasalnya, tempat mereka menyambungkan koneksi internet itu dikenal sebagai tempat atau sarang ular.
Namun, bagi Ali maupun Firnando hal itu tidak menyurutkan mereka untuk tetap dapat mengikuti pelajaran secara online.
Kedatangan ular maupun hewan liar lain hanya membuat mereka terkejut.
Tak jarang ular tersebut ditangkap sendirian oleh Firnando.
"Gak takut.
Kadang lagi mau ngirim tugas ada biawak.
Pernah juga ada ular sanca tiba-tiba nongol," kata Firnando.
Orangtua Rezi, Eni Murya Sari (38) mengaku prihatin dengan kondisi anaknya.
Dirinya was-was saat anaknya masuk ke dalam kebun pisang demi menyambung internet.
Karena keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan, Erni hanya bisa memantau dari kejauhan.
"Sebenarnya was-was karena di sini sarang ular.
Tapi mau gimana lagi, mau beli kuota kita gak ada uang," kata Eni.
Karena itu, setiap anaknya berburu wifi di kebun belakang rumah, Eni memastikan tidak terjadi apa-apa terhadap anaknya.
"Sebentar, sebentar pasti saya panggil.
Namanya ibu sama anak pasti cemas.
Tapi mereka ya biasa saja, gak takut gitu," katanya.
Menurut Eni, sistem belajar daring sangat memberatkan, karena harus menambah pengeluaran selain untuk membeli kebutuhan pokok.
Ia merinci, untuk anaknya yang duduk di bangku Sekolah Dasar ini, bisa menghabiskan uang Rp 200 ribu sebulan, hanya untuk beli Kuota Internet.
"Mending belajar di sekolah saja, dengan uang segitu sudah bisa beli kebutuhan sehari-hari buat sebulan," keluh Eni.
Pandemi Covid-19 memaksa siswa sekolah mengikuti pelajaran dari rumah.
Sistem belajar dalam jaringan atau belajar daring tentunya membutuhkan biaya ekstra untuk beli Kuota Internet.
Namun, tak semua anak sekolah bernasib baik, memiliki orangtua yang mampu membelikan Kuota Internet. (*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Cerita 4 Pelajar di Bandar Lampung Masuk Sarang Ular Demi Belajar Daring
• Pakai APD Warna-warni, Dokter Gigi Ini Tampak Fashionable di Tengah Pandemi
• Tiga Bulan Tak Pacaran, Joshua Suherman: Kayak LDR tapi Enggak Jauh-Jauh Banget
• Deddy Corbuzier Sukses Bikin Podcast, Ini Rahasianya
• Rencana Mike Tyson Kembali ke Atas Ring Tinju Jadi Kenyatan, Kapan dan Siapa Lawannya?