Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Ngopi Pagi

FOKUS : Belajar Daring yang Bikin Orangtua Pusing

Belajar dari rumah dan pembelajaran sistem daring, menjadi perbincangan publik. Banyak kendala, mulai jaringan internet,

Penulis: m nur huda | Editor: Catur waskito Edy
Grafis:Tribunjateng/Bram Kusuma
Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, M Nur Huda 

Oleh M Nur Huda

Wartawan Tribun Jateng

Belajar dari rumah dan pembelajaran sistem daring, menjadi perbincangan publik. Banyak kendala, mulai jaringan internet, psikologi siswa, hingga kuota data.

Persoalan sinyal internet, soal paling umum dikeluhkan. Di beberapa daerah terpaksa berkreasi memanfaatkan radio panggil untuk pembelajaran jarak jauh.

Sedangkan di daerah yang sinyal internet cukup stabil, para orangtua mengeluh biaya kuota data. Ketika ingin memanfaatkan Wifi, ternyata terkendala kabel optik yang tak menjangkau ke tempat tinggalnya.

Cerita seorang sahabat, memiliki dua orang anak yang melaksanakan belajar secara daring. Pembelajaran berlangsung mulai pukul 08.00 hingga 14.00. Akses internet yang diperoleh tidak melalui Wifi melainkan kuota data.

Satu anak menghabiskan sekira 1,5 GB hingga 2 GB sehari. Masing-masing ada yang menggunakan provider Telkomsel dan Tri. Untuk Telkomsel, data 1,5 - 2 GB dijual Rp 24 ribu. Sedangkan Tri 1,5 - 2 GB dijual Rp 15 ribu untuk isi ulang.

Ketika pembelajaran dilakukan lima hari dalam seminggu, maka dalam sebulan total 20 hari. Jika dikalikan, untuk Telkomsel dalam sebulan Rp 480 ribu, untuk Tri dalam sebulan Rp 300 ribu. Total belanja kuota data untuk dua anak guna belajar daring dalam sebulan Rp 780 ribu.

Jumlah pengeluaran orangtua khusus untuk pembelajaran daring, dirasa memberatkan. Apalagi, jika memiliki anak lebih dari dua. Terlebih, tak semua orangtua berpenghasilan tinggi, sehingga tidak semua siswa punya akses dan perangkat yang memadai.

"Belajar daring ini benar-benar bikin pusing. Pendapatan seret, pengeluaran bikin dompet jebol," ujar seorang orangtua siswa.

Pandemi Covid-19 memang menjadikan semua kalang kabut. Sistem yang selama ini berjalan, dipaksa dimodifikasi dengan sistem baru tanpa uji empiris.

Dalam kegiatan belajar mengajar melalui daring, siswa dipaksa menerima materi hanya sekali lihat, padahal tak semua siswa mampu memahami materi dengan cepat. Belum sempat siswa memahami secara lengkap, kemudian diberikan tugas untuk mengerjakan.

Di sisi lain, ada target kurikulum yang mengharuskan siswa mampu menguasai pelajaran. Padahal, di tengah skema pembelajaran daring, ada psikologi anak yang juga perlu diperhatikan.

Persoalan lain, tidak semua orangtua berpendidikan tinggi dan menguasai semua mata pelajaran. Sehingga, tidak tiap orangtua mampu mendampingi anaknya dengan baik dan sabar.

Survey Cyrus Network dirilis Senin (27/7/2020), 80 persen responden sangat setuju dan setuju apabila sekolah TK, SD, SMP, maupun SMA dibuka kembali meski masih pandemi. Termasuk 78,8 persen sangat setuju dan setuju perguruan tinggi dibuka kembali.

Kabar terkini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan memberi izin penyelenggaraan sekolah tatap muka di luar zona hijau Covid-19, namun jumlah siswa dalam satu kelas dibatasi. Durasi belajar di kelas juga dipersingkat.

Kita tunggu bagaimana skema sekolah tatap muka saat Pandemi yang akan dikeluarkan Kemendikbud. Apapun sistem yang akan dibuat, kebijakan dalam sistem pendidikan harusnya memerhatikan semua aspek, mulai ekonomi, sosial, budaya, psikologi, dan hak anak.(*)

Besok Memasuki Hari Puasa Tarwiyah dan Puasa Arafah Idul Adha 2020, Ini Bacaan Niat dan Keutamaannya

Rendi Coba Bunuh Diri Dua Kali Setelah Habisi Anak dan Istri

Nia Ramadhani: Gue Bahagia Sekarang Bukan karena Jadi Istrinya Ardi Bakrie

Polisi Temukan Bercak Sperma pada Dua Mayat Tanpa Busana dalam Mobil

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved