FOCUS
Pemimpin Itu Menjalankan Protokol Kesehatan
Kritik dan desakan berbagai pihak agar gelaran pilkada serentak di tengah pandemi Covid-19 ditunda lagi, tak membuat pemerintah goyah.
Penulis: rika irawati | Editor: moh anhar
Penulis: Rika Irawati, Wartawan Tribun Jateng
KRITIK dan desakan berbagai pihak agar gelaran pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di tengah pandemi Covid-19 ditunda lagi, tak membuat pemerintah goyah. Hingga Senin (28/09/09), pemerintah dan DPR masih sepakat menggelar pilkada serentak di 270 daerah.
Selain alasan perlunya waktu mengubah aturan terkait pelaksanaan pilkada, pemerintah tak ingin, pilkada ditunda karena akan membuat 270 daerah dipimpin pelaksana tugas (Plt). Hal ini bakal mempengaruhi roda pemerintahan, terutama keabsahan dan efektivitas kebijakan.
Namun, pemerintah menolak jika dituding tak melindungi warga dari potensi tertular virus Covid-19. Mereka beralasan, saat ini pun, banyak warga yang abai akan protokol kesehatan. Sementara, entah bagaimana nasib warga yang patuh menjalankan protokol kesehatan.
Tahapan pelaksanaan pilkada pun terus berlanjut. Sekarang hingga 5 Desember mendatang, calon yang yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pilkada, mulai menjalani masa kampanye.
Tentu, hal ini tak mudah dilaksanakan. Meski harusnya pilkada menjadi sebuah gelaran pesta demokrasi, nyatanya, pelaksanaannya di tengah pandemi merupakan sebuah ujian. Tak hanya bagi calon kepala daerah maupun tim kampanye, pemilik hak suara atau pemilih, juga KPU sebagai penyelanggara pilkada dan Bawaslu sebagai pengawas. Masing-masing pihak harus mengerem gejolak ingin menggelar pesta demokrasi semeriah mungkin.
Di tengah pandemi seperti sekarang ini, peserta pilkada dan tim pemenangan, dilarang mengumpulkan massa lebih dari 50 orang. Tentu saja, ini membuat mereka kesulitan menyampaikan visi misi guna menggaet pemilih yang belum menentukan sikap.
Mereka harus memutar otak dan menyusun rencana agar bisa berkampanye sambil mematuhi protokol kesehatan. Pemanfaatan media sosial maupun media lain secara dunia maya, belum terlalu familiar lantaran selama ini, kekuatan pesta demokrasi di Indonesia ada di pengumpulan massa.
Meski begitu, patut diapresiasi pasangan calon kepala daerah yang mulai memanfaatkan teknologi guna menggaet suara pemilih. Seperti yang direncanakan pasangan calon kepala daerah Solo, Gibran-Teguh, lewat blusukan virtual. Atau, kampanye dari rumah ke rumah seperti yang direncanakan peserta pilkada asal Purbalingga, Tiwi-Dono.
Namun, larangan menggelar pesta demokrasi tanpa keramaian masih menimbulkan kegagapan. Bahkan, bisa dikatakan gagal di awal-awal pelaksanaan. Ini terbukti lewat peringatan dari Bawaslu terhadap sejumlah daerah yang masih mengumpulkan massa dan mengabaikan protokol kesehatan. Satu di antara daerah yang disemprit Bawaslu adalah Purbalingga. Dua hari pertama dalam pelaksaan kampanye, Sabtu (26/09/2020) dan Minggu (27/09/2020), Bawaslu menemukan pengumpulan massa melebihi jumlah yang ditentukan sehingga tak ada kesadaran menjaga jarak.
Memang sulit melaksanakan pesta yang meriah lewat cara menjaga jarak, peserta memakai masker, dan sering-sering mencuci tangan menggunakan sabun atau hand sanitizer. Itu sebabnya, perlu komitmen kuat dari masing-masing pasangan calon untuk tetap menerapkan protokol kesehatan dan menjadikan pesta di tengah keprihatinan ini tetap menjadi perayaan yang meriah.
Inovasi masing-masing peserta pilkada dalam menjalankan komitmen mematuhi protokol kesehatan ini bisa menjadi satu pertimbangan menentukan calon pemimpin, 9 Desember nanti. Jika mereka menjaga keselamatan pemilih dalam suasana pesta demokrasi, bisa diartikan, mereka bakal mengutamakan pula kepentingan warga di masa kepemimpinan saat terpiliha nanti. Jadi, sudah punya gambaran siapa yang akan dipilih nanti? (*)