Berita Nasional
14 Alasan Perusahaan Bisa Memecat Karyawan Menurut UU Cipta Kerja, Bandingkan dengan UU Sebelumnya
Serikat buruh mengkhawatirkan, aturan PHK dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini akan membuat posisi pekerja semakin lemah
TRIBUNJATENG.COM - RUU Cipta Kerja telah disetujui DPR dan pemerintah menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna.
Sebanyak tujuh fraksi melalui pandangan fraksi mini telah menyetujui, yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
"RUU Cipta Kerja disetujui untuk pengambilan keputusan di tingkat selanjutnya," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas saat memimpin rapat kerja pengambilan keputusan tingkat I dengan pemerintah sebagaimana dilansir dari Antara, Senin (5/10/2020).
• Sinopsis Drakor My Dangerous Wife Tayang Mulai 5 Oktober, Kim Jung Eun Terlibat Penculikan Misterius
• Park Seo Joon Perankan Song Min Su di Drama Record of Youth, Bagaimana Kelanjutan Karir Sa Hye Joon?
• Saat Nia Ramadhani SMP, Sopir Capai Kerap Ambilkan Buku yang Ketinggalan
• Sinopsis Drakor Pinocchio Episode 4, In Ha Menyadari Perasaannya untuk Dal Po
RUU Omnibus Law Cipta Kerja didukung oleh seluruh partai pendukung koalisi pemerintah.
Adapun dua fraksi menyatakan menolak RUU ini, yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat.
Serikat buruh menganggap sejumlah pasal dari RUU Omnibus Law bakal merugikan posisi tawar pekerja.
Satu di antaranya adalah terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) pekerja oleh perusahaan.
Dikutip dari beleid RUU Cipta Kerja Pasal 154A, bahwa pemerintah membolehkan perusahaan untuk melakukan PHK kepada karyawan dengan 14 alasan sebagai berikut:
1. Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan
2. Perusahaan melakukan efisiensi
3. Perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama dua tahun
4. Perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur)
5. Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang
6. Perusahaan dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan niaga
7. Perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh
8. Pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri
9. Pekerja/buruh mangkir selama lima hari kerja atau lebih secara berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis
10. Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama
11. Pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib
12. Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas dua belas bulan
13. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
14. Pekerja/buruh meninggal dunia
Jika mengacu pada aturan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemerintah membolehkan perusahaan melakukan PHK dengan alasan sebagai berikut:
1. Perusahaan bangkrut
2. Perusahaan tutup karena merugi
3. Perubahan status perusahaan Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
4. Pekerja/buruh melakukan kesalahan berat
5. Pekerja/buruh memasuki usia pensiun
6. Pekerja/buruh mengundurkan diri
7. Pekerja/buruh meninggal dunia
8. Pekerja/buruh mangkir
Ditolak serikat buruh
Serikat buruh mengkhawatirkan, aturan PHK dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini akan membuat posisi pekerja semakin lemah.
Alasannya, menurut serikat pekerja, perusahaan bisa dengan mudah memecat pekerja dengan alasan efisiensi atau strategi bisnis sehingga pekerja tak lagi memiliki daya tawar jika keberatan PHK diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menjelaskan ada 10 isu yang diusung oleh buruh dalam menolak omnibus law RUU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, termasuk soal PHK.
“Sepuluh isu tersebut telah dibahas oleh pemerintah bersama Panja Baleg RUU Cipta Kerja DPR RI selama 5-7 hari dan sudah menghasilkan kesepakatan kedua belah pihak".
"Dan semalam sudah diputuskan oleh pemerintah dan DPR RI untuk dibawa kedalam rapat paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-undang," ujar Said Iqbal dalam keterangannya.
Beberapa ketentuan juga dianggap kontroversial antara lain terkait pekerja kontrak (perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT), upah, pesangon, hubungan kerja, mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK), penyelesaian perselisihan hubungan industrial, serta jaminan sosial.
Menyikapi rencana pemerintah dan DPR yang akan mengesahkan RUU Cipta Kerja dalam sidang Paripurna DPR, maka KSPI dan buruh indonesia beserta 32 Federasi serikat buruh lainnya menyatakan menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan akan mogok nasional pada 6-8 oktober 2020 ( Mogok Nasional Oktober 2020) sesuai mekanisme UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
“Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, katanya tiga isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi UU 13/2003,” kata Said Iqbal.
Tanggapan pemerintah
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, RUU Cipta Kerja akan bermanfaat besar untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global.
“RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan Pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik,” ujar Airlangga.
Selama ini kata Airlangga, masalah yang kerap menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja, antara lain proses perizinan berusaha yang rumit dan lama, persyaratan investasi yang memberatkan, pengadaan lahan yang sulit, hingga pemberdayaan UMKM dan koperasi yang belum optimal.
Ditambah lagi, proses administrasi dan birokrasi perizinan yang cenderung lamban pada akhirnya menghambat investasi dan pembukaan lapangan kerja.
Airlangga mengatakan, RUU Cipta Kerja ditujukan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja.
Mekanisme aturan PHK juga disebut tetap mengikuti persyaratan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Selain itu, RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.
Sedangkan bagi pelaku usaha, RUU Cipta Kerja diyakini akan memberi manfaat yang mencakup kemudahan dan kepastian dalam mendapatkan perizinan berusaha dengan penerapan perizinan berbasis risiko (risk based approach) dan penerapan standar.
Selain itu, Airlangga mengatakan dengan adanya pemberian hak dan perlindungan pekerja/ buruh yang lebih baik, akan mampu meningkatkan daya saing dan produktivitas usaha.
Sementara bagi pelaku usaha kata dia, akan mendapatkan insentif dan kemudahan, baik dalam bentuk insentif fiskal maupun kemudahan dan kepastian pelayanan dalam rangka investasi.
“Kami yakin ini akan dapat mendukung upaya kita bersama, untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi dan investasi, sehingga akan dapat menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan bagi masyarakat, dan pada akhirnya akan mampu mendorong perekonomian nasional kita,” kata Airlangga.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Ini 14 Aturan PHK di RUU Omnibus Law Cipta Kerja