Berita Feature
Sosok Usman Janatin, Pemuda Gagah Berani dari Purbalingga yang Gugur Digantung di Negara Tetangga
Gedung penting itu pun luluh lantak. Penghuninya banyak yang luka hingga meninggal. Pemerintah Malaysia berang
Penulis: khoirul muzaki | Editor: muslimah
TRIBUNJATENG.COM, PURBALINGGA - Nama Usman Janatin mungkin tak setenar Jenderal Soedirman.
Tapi pengorbanannya untuk negeri ini tak kalah membanggakan.
Keduanya sama-sama terlahir dari tanah Perwira, Kabupaten Purbalingga.
Usman Janatin adalah pahlawan nasional yang kini menjelma menjadi nama Kapal perang Republik Indonesia (KRI) Usman Harun.
• Kim Kardashian Ceritakan Pengalaman Menakutkan saat Rawat Kanye West yang Positif Covid-19
• Sule Tegang Dengar Penuturan Putri Delina Soal Hubungannya dan Nathalie Holscher: Kayak Anak Kecil
• Sebelum Gantung Sepatu, Kiper I Made Wirawan Ingin Juara Lagi Bersama Persib Bandung
• Muncul 2 Stan Makanan Daging Babi Bikin Heboh Hijab Fest Semarang, MUI Jateng Bergerak
Harun adalah nama temannya seperjuangan. Keduanya mati di tiang gantungan di penjara Changi Singapura, tahun 1968.
Di luar mereka dicap sebagai teroris.
Namun bagi rakyat dan pemerintah Indonesia, mereka diberi kehormatan tinggi sebagai pahlawan.
Beberapa hari lalu, di rumah Aryoto, adik ipar Usman Janatin, Desa Jatisaba, Purbalingga, seorang pria lanjut datang bertamu.
Ia mengaku teman Usman Janatin yang masih tersisa.
Sebuah foto dalam figura yang dibawanya meyakinkan pria itu memang sejawat Usman.
Ia meninggalkan foto itu untuk kenangan di rumah keluarga Usman.
Dalam foto itu, beberapa pria tegap menghadap kamera.
Usman berdiri paling tengah.
Ia terlihat tampan dan gagah, seperti dalam foto lain yang terpajang di dinding rumah.
Usman yang diam-diam mendaftar sebagai tentara ternyata tak berumur panjang.
Ia mati dalam kondisi masih lajang.
"Usianya baru 24 tahun saat meninggal,"kata Aryoto, adik ipar Usman Janatin di rumahnya, Desa Jatisaba Purbalingga
Sebuah bom meledak di sebuah hotel di jantung kota Singapura yang saat itu bagian dari federasi Malaya, tahun 1965.
Gedung penting itu pun luluh lantak. Penghuninya banyak yang luka hingga meninggal.
Pemerintah Malaysia berang.
Satu misi rahasia telah berhasil.
Para penyusup sukses membuat ricuh tanah Malaya.
Usman Janatin dan Harun tergesa meninggalkan kota.
Mereka lari beriringan.
Di ujung daratan mereka tertahan.
Sebuah perahu motor bisa membantu mereka melarikan diri, menyeberangi lautan.
Mereka memaksa penumpangnya turun dan menyerahkan perahunya.
Tubuhnya dilempar. Perahunya dirampas.
“Ada perahu boat mau menyeberang, oleh Usman dan Harun, dia dilempar, lalu perahunya dibawa kabur,”katanya
Dengan kendaraan bertenaga BBM itu, Usman dan Harun melesat membelah gelombang.
Mereka kian jauh meninggalkan daratan.
Mereka harus lari sejauh mungkin agar lepas dari kejaran polisi yang meradang.
Nahas, perahu yang mereka tumpangi kehabisan energi di tengah jalan.
Bahan bakar minyak (BBM) yang menggerakkan mesin perahu tetiba habis.
Harapan untuk kembali ke bumi pertiwi terkikis.
Ini firasat, riwayat Usman dan Harun akan berakhir sama dengan nasib mesin perahu yang mereka tumpangi.
Sementara musuh di belakang terus mengejar.
Perahu rampasan itu gagal menyelamatkan mereka dari kejaran polisi.
Sang pengacau akhirnya tertangkap.
Mereka dibawa mendarat kembali ke Singapura untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
"Jadi tertangkapnya itu karena perahunya kehabisan bensin. Kalau gak, ya mungkin lolos,”katanya
Saat berkonfrontasi dengan Malaysia, Soekarno diam-diam mengirimkan pasukan ke Singapura yang saat itu masih bagian federasi Malaysia.
Soekarno, kata Aryoto, ingin membantu penduduk Malaya yang serumpun dengan rakyat Indonesia agar terbebas dari pendudukan Inggris.
Federasi Malaya atau Persekutuan Tanah Melayu dianggap hanyalah negara boneka Inggris.
Soekarno memutuskan untuk melawan kepentingan Inggris di Malaysia.
Sampai ia menggelorakan gerakan Ganyang Malaysia yang saat itu dipimpin perdana menteri Tengku Abdul Rahman.
Soekarno diam-diam mengirim sukarelawan.
Mereka sebagian adalah anggota Korps Komando Operasi (KKO), nama korps marinir TNI Angkatan Laut saat itu. Mereka menyusup menggunakan seragam preman.
Usman Janatin satu di antara prajurit KKO yang gagah berani mengambil misi rahasia itu.
Ia ditemani Harun, seorang nelayan dari pulau Bawean yang menguasai medan karena biasa menjelajah ke negeri seberang.
Belakangan, setelah dieksekusi, Harun diganjar penghargaan oleh pemerintah Indonesia dengan pangkat Kopral Anumerta KKO.
Kopral Usman Janatin dinaikkan pangkatnya menjadi Sersan Anumerta KKO.
Pemerintah juga menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Sakti dan mengangkat keduanya menjadi Pahlawan Nasional.
"Harun penunjuk jalan. Usman kemana-mana mengikuti Harun yang paham daerah sana,” katanya
Usman Janatin dan teman-temannya mengemban tugas berat.
Misi utama mereka adalah memancing kerusuhan melalui rangkaian aksi sabotase.
Kantor dan gedung penting diledakkan, hingga Malaya bergolak.
Sayang, Usman dan Harun tertangkap usai berusaha melarikan diri.
Menurut Aryoto, Usman dan Harun ditahan cukup lama, sekitar 3,5 tahun, sebelum nasibnya berakhir di tiang gantungan, 17 Oktober 1968.
Aryato tidak mengetahui ikhtiar pemerintah Indonesia untuk membebaskan Usman dan Harun saat itu.
Sebab situasi dalam negeri kala itu juga tengah mengalami pergolakan hebat, dari peristiwa Gerakan 30 September PKI 1965, hingga peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno ke Soeharto.
Di tengah kemelut politik dalam negeri, nasib Usman dan Harun merana di penjara Changi.
Kabar mengenai Usman hanya diketahui orang tuanya melalui secarik surat yang ditulis dari balik jeruji.
Surat yang sudah melalui pemeriksaan otoritas penjara Changi itu diterima oleh orang tuanya di Desa Jatisaba, Purbalingga tiap bulan.
Selainnya, ia hanya menanti kabar putranya melalui siaran radio.
Hingga suatu sore, 16 Oktober 1968, berita yang disiarkan Radio Republik Indonesia (RRI) membuat keluarga itu tak bisa tidur semalaman.
Siaran itu terdengar seperti gelegar petir yang langsung menyambar jantung.
Usman dan Harun, dua pahlawan asal Indonesia esok hari akan dieksekusi, 17 Oktober 1968.
“Kemudian paginya, ada siaran, Usman dan Harun meninggal. Langsung sini pasang bendera setengah tiang,”katanya. (*)
• Sule Tegang Dengar Penuturan Putri Delina Soal Hubungannya dan Nathalie Holscher: Kayak Anak Kecil
• Sebelum Gantung Sepatu, Kiper I Made Wirawan Ingin Juara Lagi Bersama Persib Bandung
• Info Loker Lowongan Kerja Terbaru di Semarang Selasa 6 Oktober 2020
• Baru 2 Bulan Syuting Sinetronnya Tamat, Kiki Farrel Curhat dan Sampaikan Salam Perpisahan