Berita Semarang
Demo Munculkan Klaster Baru Covid-19 di Semarang, Buruh: Kenapa Tak Disebut Klaster Perusahaan?
Dinkes Kota Semarang menyebut menemukan klaster demo beberapa waktu lalu oleh kalangan buruh dan mahasiswa.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Semarang menemukan klaster demo yang dilakukan beberapa waktu lalu oleh kalangan buruh dan mahasiswa.
Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Moh Abdul Hakam mengatakan, ada 11 orang yang dinyatakan positif Covid-19 dalam klaster tersebut.
Sepuluh orang merupakan pendemo dari kalangan buruh, satu orang merupakan kontak erat dari pendemo.
Baca juga: Rizieq Shihab Dikabarkan Pulang PA 212 Soloraya Gembira: Arab Saudi Masih Ada Semacam Lampu Merah
Baca juga: Viral Pelanggan Kafe Pesan Atas Nama Tarik Sis, Saat Dipanggil Semua Pengunjung Teriak Semongko
Baca juga: Seorang Wanita Inggris Mengaku Diperkosa Menteri Uni Emirat Arab di Pulau Pribadi
Baca juga: Terapi Minyak Kayu Putih ke Santri Positif Covid-19 di Banyumas, Bupati: Ini Mempercepat Kesembuhan
Saat ini mereka menjalani karantina di rumah dinas Wali Kota Semarang.
Menanggapi hal ini, kalangan buruh pun mempertanyakan informasi yang disampaikan dinas terkait soal munculnya klaster demo.
"Pertanyaan besar yang muncul mengapa bukan disebut klaster perusahaan? Sungguh mengherankan, aksi yang sudah dilakukan berminggu- minggu sebelumnya kenapa baru sekian hari lalu di-test?" kata Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jateng, Aulia Hakim, Minggu (18/10/2020).
Menurutnya, temuan buruh positif Covid-19 hasil tracing tersebut lebih pantas disebut klaster perusahaan.
Lantaran awal ditemukannya klaster demo bermula dari dua perusahaan di Kota Semarang yang menginisisasi rapid test bagi buruh yang mengikuti demo.
Kemudian terdapat buruh yang dinyatakan reaktif.
Dinas pun langsung menindaklanjuti swab test terhadap buruh yang dinyatakan reaktif tersebut.
Aulia meminta kepada pemerintah untuk tidak memilih-milih waktu dalam melakukan tes Covid-19.
Hal itu agar tidak menimbulkan kesan bahwa klaster Covid-19 diarahkan untuk membungkam kebebasan berpendapat.
Menurutnya, pernyataan klaster demo tersebut seolah-olah unjuk rasa dimana dalam negara demokrasi yang diakui sebagai jalan berpendapat disandingkan dengan perilaku penyebab klaster Covid-19.
"Demonstrasi adalah penyampaian pendapat di muka umum akibat gagalnya penyampaian pendapat secara biasa. Alasan situasi pandemi Covid-19 ini sungguh dimanfaatkan untuk menutupi saluran aspirasi (demo) yang seharusnya dapat dilakukan," tegasnya.
Menurutnya, penolakan Omnibus Law diakibatkan karena legislatif tertutup terhadap konsep awal UU tersebut.