Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

NGOPI PAGI

FOCUS: Siapapun Pemenangnya, Bandar Juaranya

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini merilis hasil survei. Dalam tiga penyelenggaraan pilkada serentak lima tahun terakhir, ada peningkat

Penulis: m nur huda | Editor: m nur huda
tribunjateng/bram/cetak
Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, M Nur Huda 

Tajuk Ditulis Oleh Jurnalis Tribun Jateng, M Nur Huda

TRIBUNJATENG.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini merilis hasil survei. Dalam tiga penyelenggaraan pilkada serentak lima tahun terakhir, ada peningkatan tren calon kepala daerah dibiayai oleh sponsor memiliki kecenderungan memenuhi keinginan sponsor (Bandar).

Pada 2015, KPK menemukan calon kepala daerah yang bersedia memenuhi keinginan sponsor mencapai 75,8 persen. Di 2017 naik menjadi 82,2 persen, pada 2018 menjadi 83,8 persen.

Dampaknya, integritas seorang calon kepala daerah dipertaruhkan setelah ia terpilih. Ia berpotensi besar tak bisa menolak permintaan pihak Bandar karena punya hutang balas budi.

Hal ini berpeluang besar memunculkan oligarki. Kekuasaan yang hanya dipegang dan dikendalikan oleh sekelompok kecil elit dari masyarakat. Situasi ini akan sulit terlepas dari jeratan tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dampaknya, politik anggaran akan sulit mencapai kata adil bagi seluruh warganya.

Kemunculan para bandar di Pilkada tak bisa lepas dari situasi besarnya ongkos politik. Seorang calon kepala daerah harus mengeluarkan uang puluhan miliar untuk membiayai kontestasi politik.

Seseorang yang memiliki prestasi, telah berbuat banyak pada daerahnya, serta memiliki bekal sosial hingga popularitas, tak serta merta melenggang dengan mudah menang pilkada.

Terlebih, ketika seseorang yang memiliki bekal sosial tersebut tak memiliki bekal finansial mumpuni untuk mencukupi kebutuhan operasional biaya politik, maka dalam situasi ini membutuhkan dukungan biaya dari bandar.

Ukuran yang mudah dijadikan gambaran adalah adanya data laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang disampaikan pasangan calon. Antara nominal harta yang dimiliki dengan kebutuhan biaya politik terkadang tidak imbang, minus.

Hal itulah yang kemudian membuat calon kepala daerah bersedia menerima bantuan dari bandar.

Survei KPK menemukan, 82,3 persen pasangan calon kepala daerah mengakui bahwa mereka dibantu bandar dalam proses kontestasi. Tentunya, bantuan yang diberikan bukanlah cuma-cuma.

Di sinilah pentingnya masyarakat memilih calon kepala daerah yang berintegritas. Kurangnya integritas menjadi salah satu pemicu terjadinya korupsi kepala daerah. Sebab korupsi terjadi karena adanya kekuasaan, kesempatan dan kurangnya integritas.

Jika melihat mekanisme, terdapat ketentuan mengenai dana kampanye. Sumbangan berupa uang dapat diterima calon kepala daerah dari perseorangan, kelompok, badan usaha. Dari perseorangan maksimal Rp 75 juta, korporasi maksimal Rp 750 juta.

Apabila biaya politik hanya menghitung selama proses kampanye, tentu sumbangan dari sejumlah pihak mencukupi. Terlebih, di tengah pandemi saat ini ada penghematan besar karena adanya larangan kegiatan kampanye terbuka dengan jumlah massa banyak yang biasanya membutuhkan biaya besar.

Namun jika calon kepala daerah menghitung jumlah pemilih guna distribusi money politics jelang pemilihan, baca saja serangan fajar, hal ini yang membutuhkan biaya tinggi.

Pada tahap ini, sudah tak berhitung halal-haram maupun benar-salah, yang penting bisa mengunci pilihan politik pemilih dan menang pilkada. Walhasil, ketika sang calon memenangi laga, maka tak lain yang juara adalah bandarnya.(*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved