Penanganan Corona
Kisah Dokter Galih, Pernah Terpapar Covid-19 Hingga Ketakutannya Menulari Orang Terdekat
Kekhawatirannya memuncak saat Dokter Galih Puspitasari dinyatakan terpapar Covid-19.
Penulis: Rifqi Gozali | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, BLORA – Kekhawatirannya memuncak saat dia dinyatakan terpapar Covid-19. Semata-mata tidak hanya dirinya yang harus menanggung rasa sakit akibat gejala yang disebabkannya. Lebih dari itu, kemungkinan buruk ketika virus itu menular kedua orangtua dan neneknya.

Gadis bernama Galih Puspitasari yang betugas sebagai dokter di RSUD Soetijono Blora memang berisiko tinggi tertular Covid-19. Sebagai dokter jaga di instalasi gawat darurat dia memang orang pertama yang menangani ketika ada pasien datang.
Awal April 2020, dia mengalami demam hebat. Suhu tubuhnya mencapai 41,5 derajat celsius. Saat itu dia sudah menduga jika virus corona telah bersarang di dalam tubuhnya. Dugaan ini cukup beralasan, sebab beberapa hari sebelumnya dia menangani pasien dengan gejala mirip penderita Covid-19.
Dugaan itu seketika disingkirkan sebelum ada pembuktian secara medis. Namun, dia sudah mulai berhati-hati dengan tidak menjalin kontak langsung dengan anggota keluarganya. Sebagai anak bungsu dari pasangan Dwilah Hernuwati dan Seneng Iswanto, Galih kini tinggal bersama keduanya yang sudah lanjut usia berikut neneknya yang usianya sekitar 90 tahun.
“Mereka semua ini sudah lansia. Tentu saya khawatir,” ujar Galih saat ditemui di kediamannya di Jalan Cimanuk Nomor 5, Blora.
Galih mencoba menenangkan diri dengan beristirahat di rumah. Dugaan lain yang sempat terbersit di pikirannya karena kecapekan hingga akhirnya demam hebat hinggap di tubuhnya.
“Sebelumnya saya sering bolak-balik Blora-Yogya. Soalnya ibu sedang perawatan di RS Sardjito. Kemudian awal pandemi juga sering rapat terkait pelayanan di rumah sakit. Dari itu saya menduga kecapekan,” ujar gadis 33 tahun.
Selama beberapa hari istirahat di rumah, memang dia benar-benar berada di dalam kamar. Kebutuhannya selalu diantar langsung ke kamar. Selama itu pula demamnya tidak kunjung reda. Obat penurun panas telah dikonsumsi. Namun hanya mampu membuat suhu tubuhnya dari yang semula 41,5 menjadi 39 derajat celsius.
“Ternyata masih tinggi juga demam saya,” ujar dia.
Sedianya sejak demam dia telah mengomunikasikannya dengan sesama dokter di RSUD Soetijono. Sejak saat itu juga dia disarankan untuk sejenak istirahat dan menjalani sejumlah tahapan uji laboratorium. Namun setelah enam hari istirahat di rumah kondisinya tak kunjung membaik, Galih akhirnya disarankan untuk melakukan CT scan. Hasilnya, terdapat peradangan pada paru-parunya atau ground opacity yang mengarah ke Covid-19.
Pada saat yang bersamaan, ruang isolasi di rumah sakit tempat dia kerja baru saja selesai disiapkan. Keputusan berat harus menjalani perawatan pun harus diambil daripada di rumah justru lebih berisiko.
“Saya harus isolasi di dalam ruang sendirian. Terhitung saya isolasi selama 12 hari di rumah sakit,” kata alumnus kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogakarta.
Selama isolasi di rumah sakit itu pula dia menjalani tes usap. Namun saat itu tes usap hasilnya tidak bisa seketika diketahui. Butuh waktu beberapa hari. Hingga akhirnya selama 12 hari isolasi, tercatat selama delapan hari demamnya tidak reda. Sisa hari berikutnya, kondisinya baru mulai membaik.
“Setelah 12 hari itu saya boleh pulang. Di rumah saya masih harus isolasi mandiri,” ujar dia.
Pada pertengahan Juni 2020 dia baru dinyatakan sembuh total dari Covid-19. Hal itu dibuktikan dengan hasil tes usap berulang kali. Sedikitnya ada 10 kali tes usap. Dua kali hasil tes usap yang terakhir, dia benar-benar negatif.