Berita Internasional
Anggota Baru Pasukan Australia SAS Dipaksa Bunuh Tahanan di Afghanistan
Pemimpin pasukan elite Australia SAS dilaporkan memaksa anggota baru untuk menembak mati tahanan agar mereka "berdarah".
TRIBUNJATENG.COM, CANBERRA - Pemimpin pasukan elite Australia SAS dilaporkan memaksa anggota baru untuk menembak mati tahanan agar mereka "berdarah".
Terungkapnya kabar itu terjadi di tengah dugaan bahwa militer "Negeri Kanguru" diduga melakukan pembunuhan ekstrayudisial di Afghanistan antara 2007-2013.
Jenderal Angus Campbell, Kepala Pasukan Pertahanan Australia, merilis laporan yang sudah disunting dari Paul Brereton, Hakim Senior Sydnye sekaligus mantan jenderal korps cadangan.
Baca juga: TNI Copot Baliho Rizieq, Pengamat Sebut Ada Dasar Hukumnya: Negara Tak Boleh Kalah
Baca juga: Warga Kota Solo Gelar Aksi Tolak Rizieq Shihab, Korlap: Kami Ingin Hidup Adem Ayem Tentrem
Baca juga: Agus Widjojo Sebut TNI Tidak Berwenang Bubarkan FPI Ataupun Ormas
Baca juga: TNI Copot Baliho Rizieq, PA 212: Terimakasih, Kami Sangat Terbantu
Butuh waktu empat tahun bagi para hakim untuk menyelesaikan penyelidikan dan menyusun laporan, di mana naskahnya banyak mengalami penyuntingan.
Hakim Brereton menemukan informasi, pasukan elite SAS melakukan 39 pembunuhan ekstrayudisial saat tergabung dalam koalisi pimpinan AS di Afghanistan.
Diwartakan The Times, tudingan itu termasuk "pembunuhan pertama" yang dilakukan oleh anggota junior berdasarkan perintah dari pimpinannya.
Dilaporkan Daily Mirror Jumat (20/11/2020), perintah itu diberikan si oknum pimpinan agar setiap anggota baru merasa "berdarah".
Laporan itu juga menyebutkan senjata maupun alat komunikasi asing ditaruh di sebelah mayat korban, sehingga mereka nampak seperti prajurit guna mengelabui komandannya.
Jenderal Campbell menduga, jumlah warga Afghanistan yang dibunuh secara semena-mena oleh pasukan khusus "Negeri Kanguru" ini lebih dari 39 orang.
"Meski enggan, saya harus menerima bahwa ini sudah terjadi kemungkinan ini (pembunuhan ekstrayudisial)," kata Jenderal Campbell.
Dia memberanikan orang-orang yang menjadi korban atau mungkin mempunyai informasi mengenai kejahatan perang itu untuk segera melapor.
Kepada ABC, Jenderal Campbell mengatakan dia sudah mengantisipasi bakal mendapatkan laporan yang tak enak mengenai tingkah laku anak buahnya.
Namun, dia tidak menyangka bahwa laporan yang dia terima bakal sangat menyesakkan.
"Dan laporan ini sangat, sangat mengerikan," kata dia.
Salah satu insiden, seperti yang disebut dalam laporan itu, memuat detil yang disebut "paling memalukan dalam sejarah militer Australia".