Puisi
Kumpulan Puisi Iman Budhi Santosa IBS, Kita Senantiasa Mencatat Kelam Pada Hujan di Sore Kelabu
kumpulan puisi karya Iman Budhi Santosa IBS. Sastrawan yang meninggal dunia Kamis 10 Desember 2020.
Penulis: Awaliyah P | Editor: abduh imanulhaq
3. Manusia 1
Walau tubuhmu kian lapuk dengan mati
Jiwamu masih kusimpan dalam puisi
4. Bersama Perumput Merapi
Ketika pagi berbagi rumput di batas hutan konservasi
tak terbaca bekas luka dan pijar lava
di sekujur tubuhnya yang merambat tua
dan hanya tersenyum waktu seekor kepodang
menjatuhkan kotorannya tepat di kepala
karena Merapi rumah bersama di alam nyata
“Mengapa mereka lebih mengabdi pada sapi
dan kambing etawa? Lebih mencintai sepi
daripada gemerlap kota raja?” Tulis seorang peneliti
berbekal buku dan selalu bersepatu
tak pernah menginjak tanah
saat merunut jejak tapak sejarah
yang tertera pada kawasan vegetasi rendah
Maka, ia pun terkejut ketika seekor ular menyelinap
di antara selangkangan seorang perumput
dan si ular hanya dibiarkan melata entah ke mana
entah akan berburu katak atau sekadar tamasya
entah mencari pasangan atau kembali ke habitatnya
Di bawah pohon puspa akademisi muda itu tertegun.
Di lereng Merapi, berhadapan petak-petak zonasi
ternyata rumput dapat menjelma puisi
sedangkan rumus dan teori literasi
tak ubahnya capung yang beterbangan kian-kemari
hinggap sejenak pada reranting musim kemudian pergi
sesuai arah pikiran yang dirancang
dan jarang sekali membumi
2018
5. Di Makam Syeh Maulana Maghribi
Pada puncak bukit, usai jalan berundak
masjid dan makam, Islam dan Jawa
berdampingan dalam kerindangan
Di sudut, rumpun bambu pancing
sunyi warisan Maulana Maghribi
dekat muara sungai opak dan pantai selatan
menjaga kikisan ombak
zaman dan kepercayaan berbenturan
Di serambi, seorang lelaki muda bersila
seperti menanti, seperti bertapa
tapi tasbih di tangan tetap menghitung
seperti ditetapkan Nabi
seirama denyut dada kiri
Di makam ini ratusan orang bersaksi
bumi Jawa bersyahadat
meletakkan keris pedang
di pangkuan para wali
(2011)
6. Rumah
Malam kelam telah datang
Langit menyanyikan keheningan
Tidurlah, kekasihku, tidurlah
Biar lelahmu kian merebah
Kau tak perlu menceramahi
Tentang bagaimana mencintai
Kau bahkan tak tahu pasti
Seperti apa mencintai
Kau hanya ingin memiliki!
Kau cepat sekali terlelap
Kau terlalu banyak berharap!
Aku menari sunyi di langit
Sambil mengirimkan kasih
Untuk menyelimuti lelapmu
Biar hadirlah mimpi indahmu
Apa yang aneh dari perpisahan?
Bukankah itu terjadi berulang
dalam setiap kisah kehidupan?
Mengapa air matamu berlinang
seakan hujan tak lagi menggenang?
Sebenarnya aku ingin memelukmu
Seraya kau tidur, seperti dulu
Tapi aku enggan melakukannya
Tubuhku membatu dengan lara
Tak usah dikenang
Walau terasa dalam
Biar dendam melayang
Biar langkah terbebaskan
Ketika kau terbangun esok pagi
Mungkin kau akan mencium wangi melati
Nikmatilah
Itu yang sengaja kutinggalkan
Untuk apa mencaci yang telah mati?
Untuk apa mengharap yang tak pasti?
Kuburan tersedia di mana-mana
Tapi kau masuk ke liang yang sama
Akankah senyummu merekah karenanya?
Tak ada keyakinan yang memastikan
Semuanya terasa hanya perkiraan
Kita pun mungkin hanya perkiraan
Tersesatkah kita?
Selalu ingin kembali
Setelah terlanjur pergi
Tidakkah kau lelah
melahirkan gundah?
Kita harus mencari jalan sendiri
Tapi tak harus pulang kembali
7. Bersujud di Puncak Merapi
Sampai di puncak, ia, lelaki itu
tengadah ke langit, bertanya pada matahari
mencari arah yang tepat, kiblat timur barat
sebelum bersujud meletakkan dahi
pada hamparan tanah vulkanis
tanpa seekor semut dan burung pun menemani
sebaris memberi aminan dan arti
Selesai bersujud di puncak Merapi
ia mengumpulkan batu-batu yang bertebaran
dan menumpuknya. Namun, segera ditinggalkan
karena di sini hanya tempat bersujud sesekali
bukan rumahku, rumahmu
tempat menulis puluhan buku
sebelum nanti lengkap dikafani
2019
8. Kau Baru Saja Pergi
Kau baru saja pergi
Angin masih membelai kulitku
Lembut sekali
Tak menghembuskan kepergianmu
Detak jam bergerak cepat
Kau baru saja pergi
Kenangan penting terus dicatat
Aku membaca goresan pelangi
Seprei kasur berantakan, belum kubereskan
Biarkan saja, begitu katamu dengan nyaman
Kau baru saja pergi
Pintu kamar seharusnya dikunci
Mungkin aku selalu lupa
Ini hanya perkara biasa
Cinta bukan lagi fiksi
Kau baru saja pergi
9. Untuk Seorang Penyair
Wahai penyair
Aku tak bisa terlelap saat malam menjelma
Di mataku selalu nampak jiwamu membara
Mendobrak tatanan diri yang telah kubangun rapi
Seperti tahun-tahun berlalu dalam sejarah sepi
Awalnya kau basuh jiwaku dengan air puisi
Sampai bersih berkilau dari noda duniawi
Hingga bersamamu kugenggam dayung panjang
Sebrangi laut kehidupan yang lengang
Ungkapkan misteri yang tak terpecahkan
Deru mimpi pun kau libas bagai kereta api
Bermil-mil melaju menuju lorong-lorong sunyi
Hidupkan nurani yang telah lama mati
Pun derita yang menggulung dari gunung
Kurasakan sedemikian luka, menambah tetes air mata
Dalam kemanusiaan yang indah di tepi asa
Dan aku menaiki satu tangga dari langit
Kuraih tinggiku bersama pelukanmu yang hangat
Tapi entahlah saat ini
Jiwamu kian padam bersama lilin yang semakin jarang
Saat kutemui wajahmu di sebrang pulau mati
Kini ramaimu yang menyiar syair:
Mantra-mantra kelabu bertebaran
Lecet pun tak terhindari, menjadi bahan duka nan abadi
Wahai penyair
Akhirnya aku berjalan di kegelapan metafora
Kutemukan berbagai buntu yang penuh imaji
Puisimu usang dimakan kutu yang bersarang di otakku
Atas semua yang terjadi saat terakhirmu itu
Entah apa yang kini kutoreh dalam kata-kata
Mungkin hanya sebait makna yang mencari nyawa
10. Tetaplah Seperti Merapi
Tetaplah seperti, mungkin
desau angin, atau puncak gunung
setia menyimpan kisah cerita
tak meninggalkan jejak tapak dan gaung
Sepanjang jalan mendaki terus berbelit
lewat pasar bubar dan hutan-hutan wingit
tak akan kupatahkan senyum daun pada reranting
tak akan kusepak batu kerikil hingga jauh terpelanting
Karena di tanganmu hanya puisi
tetaplah seperti Merapi, tegak sendiri
tak pernah kecut serupa kerucut tua
berkali-kali mengucurkan tuah, malah dikira
menghajar dusun sawah dengan semena-mena
2010
11. Di Celah Merbabu - Merapi
Menjelang senja, di celah Merbabu – Merapi
sampai tikungan meliuk turun mendaki
tampak beberapa ekor ular menyeberang
melata dari selatan ke utara demikian tenang
Sejenak aku berhenti. Diam tertegun
merasakan gelap seperti menggeliat bangun
sementara gerimis juga mulai turun
Sebentar lagi ada iring-iringan berseragam
membawa bunga upacara persembahan
tapi kini dari utara ke selatan
tanpa peduli apa pun yang melintas di jalanan
Ketika hujan mulai lebat, ada kelebat
sepasang bocah laki perempuan telanjang
muncul dari celah tebing jurang
dengan ramah tersenyum menyapa
“Pulanglah, Bapak. Sebelum engkau lupa
arah utara selatan yang sebenarnya …”
12. Lupa
Ayah,
Adzan magrib pun berkumandang
Membawakan pesan
Tentang kemarau yang indah:
Kering air mata lirih kita
Perlukah merasa tersakiti bila sudah terobati?
Ayah, kini aku lupa pergantian musim
(Kenanganmu tak lagi bermukim)
13. Tangisan Hitam
“Mungkin matahari takkan bersinar lagi di wajahku
Aku tahu
Wajahku dipenuhi dendam pada pagi yang kabur
Mungkin rembulan takkan terpancar lagi di senyumku
Aku tahu
Senyumku ternodai luka pada malam yang lebur”
Ternyata aku meratapinya
Dan saat semua itu belum tiba:
Dengan riang aku berjalan
Menuju candu di pesakitan
Tanah retak bukanlah keluhan
Hujan luka tidaklah sialan
Kisah senantiasa berulang
Menebarkan pengalaman
Tangisan hitam kualirkan
Pada sungai kenistaan
Berharap sampai di lautan
Deburkan ombak kearifan
(iam/tribunjateng.com)
