Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Puisi

Kumpulan Puisi Iman Budhi Santosa IBS, Kita Senantiasa Mencatat Kelam Pada Hujan di Sore Kelabu

kumpulan puisi karya Iman Budhi Santosa IBS. Sastrawan yang meninggal dunia Kamis 10 Desember 2020.

Penulis: Awaliyah P | Editor: abduh imanulhaq
wikipedia
Biodata Iman Budhi Santosa Sastrawan Meninggal Dunia Hari Ini 

3. Manusia 1

Walau tubuhmu kian lapuk dengan mati
Jiwamu masih kusimpan dalam puisi

4. Bersama Perumput Merapi

Ketika pagi berbagi rumput di batas hutan konservasi

tak terbaca bekas luka dan pijar lava

di sekujur tubuhnya yang merambat tua

dan hanya tersenyum waktu seekor kepodang

menjatuhkan kotorannya tepat di kepala

karena Merapi rumah bersama di alam nyata

“Mengapa mereka lebih mengabdi pada sapi

dan kambing etawa? Lebih mencintai sepi

daripada gemerlap kota raja?” Tulis seorang peneliti

berbekal buku dan selalu bersepatu

tak pernah menginjak tanah

saat merunut jejak tapak sejarah

yang tertera pada kawasan vegetasi rendah

Maka, ia pun terkejut ketika seekor ular menyelinap

di antara selangkangan seorang perumput

dan si ular hanya dibiarkan melata entah ke mana

entah akan berburu katak atau sekadar tamasya

entah mencari pasangan atau kembali ke habitatnya

Di bawah pohon puspa akademisi muda itu tertegun.

Di lereng Merapi, berhadapan petak-petak zonasi

ternyata rumput dapat menjelma puisi

sedangkan rumus dan teori literasi

tak ubahnya capung yang beterbangan kian-kemari

hinggap sejenak pada reranting musim kemudian pergi

sesuai arah pikiran yang dirancang

dan jarang sekali membumi

2018

5. Di Makam Syeh Maulana Maghribi

Pada puncak bukit, usai jalan berundak

masjid dan makam, Islam dan Jawa

berdampingan dalam kerindangan

Di sudut, rumpun bambu pancing

sunyi warisan Maulana Maghribi

dekat muara sungai opak dan pantai selatan

menjaga kikisan ombak

zaman dan kepercayaan berbenturan

Di serambi, seorang lelaki muda bersila

seperti menanti, seperti bertapa

tapi tasbih di tangan tetap menghitung

seperti ditetapkan Nabi

seirama denyut dada kiri

Di makam ini ratusan orang bersaksi

bumi Jawa bersyahadat

meletakkan keris pedang

di pangkuan para wali

(2011)

6. Rumah

Malam kelam telah datang
Langit menyanyikan keheningan
Tidurlah, kekasihku, tidurlah
Biar lelahmu kian merebah

Kau tak perlu menceramahi
Tentang bagaimana mencintai
Kau bahkan tak tahu pasti
Seperti apa mencintai
Kau hanya ingin memiliki!

Kau cepat sekali terlelap

Kau terlalu banyak berharap!

Aku menari sunyi di langit
Sambil mengirimkan kasih
Untuk menyelimuti lelapmu
Biar hadirlah mimpi indahmu

Apa yang aneh dari perpisahan?
Bukankah itu terjadi berulang
dalam setiap kisah kehidupan?
Mengapa air matamu berlinang
seakan hujan tak lagi menggenang?

Sebenarnya aku ingin memelukmu
Seraya kau tidur, seperti dulu
Tapi aku enggan melakukannya
Tubuhku membatu dengan lara

Tak usah dikenang
Walau terasa dalam
Biar dendam melayang
Biar langkah terbebaskan

Ketika kau terbangun esok pagi
Mungkin kau akan mencium wangi melati
Nikmatilah
Itu yang sengaja kutinggalkan

Untuk apa mencaci yang telah mati?
Untuk apa mengharap yang tak pasti?
Kuburan tersedia di mana-mana
Tapi kau masuk ke liang yang sama

Akankah senyummu merekah karenanya?
Tak ada keyakinan yang memastikan
Semuanya terasa hanya perkiraan
Kita pun mungkin hanya perkiraan
Tersesatkah kita?

Selalu ingin kembali
Setelah terlanjur pergi
Tidakkah kau lelah
melahirkan gundah?

Kita harus mencari jalan sendiri
Tapi tak harus pulang kembali

7. Bersujud di Puncak Merapi

Sampai di puncak, ia, lelaki itu

tengadah ke langit, bertanya pada matahari

mencari arah yang tepat, kiblat timur barat

sebelum bersujud meletakkan dahi

pada hamparan tanah vulkanis

tanpa seekor semut dan burung pun menemani

sebaris memberi aminan dan arti

Selesai bersujud di puncak Merapi

ia mengumpulkan batu-batu yang bertebaran

dan menumpuknya. Namun, segera ditinggalkan

karena di sini hanya tempat bersujud sesekali

bukan rumahku, rumahmu

tempat menulis puluhan buku

sebelum nanti lengkap dikafani

2019

8. Kau Baru Saja Pergi

Kau baru saja pergi
Angin masih membelai kulitku
Lembut sekali
Tak menghembuskan kepergianmu

Detak jam bergerak cepat
Kau baru saja pergi
Kenangan penting terus dicatat
Aku membaca goresan pelangi

Seprei kasur berantakan, belum kubereskan
Biarkan saja, begitu katamu dengan nyaman
Kau baru saja pergi
Pintu kamar seharusnya dikunci

Mungkin aku selalu lupa
Ini hanya perkara biasa
Cinta bukan lagi fiksi
Kau baru saja pergi

9. Untuk Seorang Penyair

Wahai penyair
Aku tak bisa terlelap saat malam menjelma
Di mataku selalu nampak jiwamu membara
Mendobrak tatanan diri yang telah kubangun rapi
Seperti tahun-tahun berlalu dalam sejarah sepi

Awalnya kau basuh jiwaku dengan air puisi
Sampai bersih berkilau dari noda duniawi
Hingga bersamamu kugenggam dayung panjang
Sebrangi laut kehidupan yang lengang
Ungkapkan misteri yang tak terpecahkan

Deru mimpi pun kau libas bagai kereta api
Bermil-mil melaju menuju lorong-lorong sunyi
Hidupkan nurani yang telah lama mati
Pun derita yang menggulung dari gunung
Kurasakan sedemikian luka, menambah tetes air mata
Dalam kemanusiaan yang indah di tepi asa
Dan aku menaiki satu tangga dari langit
Kuraih tinggiku bersama pelukanmu yang hangat

Tapi entahlah saat ini
Jiwamu kian padam bersama lilin yang semakin jarang
Saat kutemui wajahmu di sebrang pulau mati
Kini ramaimu yang menyiar syair:
Mantra-mantra kelabu bertebaran
Lecet pun tak terhindari, menjadi bahan duka nan abadi

Wahai penyair
Akhirnya aku berjalan di kegelapan metafora
Kutemukan berbagai buntu yang penuh imaji
Puisimu usang dimakan kutu yang bersarang di otakku
Atas semua yang terjadi saat terakhirmu itu
Entah apa yang kini kutoreh dalam kata-kata
Mungkin hanya sebait makna yang mencari nyawa

10. Tetaplah Seperti Merapi

Tetaplah seperti, mungkin

desau angin, atau puncak gunung

setia menyimpan kisah cerita

tak meninggalkan jejak tapak dan gaung

Sepanjang jalan mendaki terus berbelit

lewat pasar bubar dan hutan-hutan wingit

tak akan kupatahkan senyum daun pada reranting

tak akan kusepak batu kerikil hingga jauh terpelanting

Karena di tanganmu hanya puisi

tetaplah seperti Merapi, tegak sendiri

tak pernah kecut serupa kerucut tua

berkali-kali mengucurkan tuah, malah dikira

menghajar dusun sawah dengan semena-mena
2010

11. Di Celah Merbabu - Merapi

Menjelang senja, di celah Merbabu – Merapi

sampai tikungan meliuk turun mendaki

tampak beberapa ekor ular menyeberang

melata dari selatan ke utara demikian tenang

Sejenak aku berhenti. Diam tertegun

merasakan gelap seperti menggeliat bangun

sementara gerimis juga mulai turun

Sebentar lagi ada iring-iringan berseragam

membawa bunga upacara persembahan

tapi kini dari utara ke selatan

tanpa peduli apa pun yang melintas di jalanan

Ketika hujan mulai lebat, ada kelebat

sepasang bocah laki perempuan telanjang

muncul dari celah tebing jurang

dengan ramah tersenyum menyapa

“Pulanglah, Bapak. Sebelum engkau lupa

arah utara selatan yang sebenarnya …”

12. Lupa

Ayah,

Adzan magrib pun berkumandang
Membawakan pesan
Tentang kemarau yang indah:
Kering air mata lirih kita

Perlukah merasa tersakiti bila sudah terobati?

Ayah, kini aku lupa pergantian musim
(Kenanganmu tak lagi bermukim)

13. Tangisan Hitam

“Mungkin matahari takkan bersinar lagi di wajahku
Aku tahu
Wajahku dipenuhi dendam pada pagi yang kabur

Mungkin rembulan takkan terpancar lagi di senyumku
Aku tahu
Senyumku ternodai luka pada malam yang lebur”

Ternyata aku meratapinya
Dan saat semua itu belum tiba:
Dengan riang aku berjalan
Menuju candu di pesakitan

Tanah retak bukanlah keluhan
Hujan luka tidaklah sialan
Kisah senantiasa berulang
Menebarkan pengalaman

Tangisan hitam kualirkan
Pada sungai kenistaan
Berharap sampai di lautan
Deburkan ombak kearifan

(iam/tribunjateng.com)

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 4/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved