Berita Jateng
Cerita Baihaqi Difabel Gugat Sekda Jateng ke PTUN, Dinyatakan Gugur Seleksi CPNS Meski Nilai Tinggi
Seorang penyandang disabilitas, Muhammad Baihaqi, menggugat Sekda Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
Penulis: m zaenal arifin | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Seorang penyandang disabilitas, Muhammad Baihaqi, menggugat Sekda Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.
Penyebabnya, Baihaqi dinyatakan gugur dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) periode 2020 lalu meski ia meraih nilai tertinggi pada Seleksi Kompetensi Dasar (SKD).
Perwakilan LBH Semarang selaku pendamping Baihaqi, Naufal Sebastian mengatakan, Baihaqi dicoret dari seleksi CPNS karena dianggap tidak memenuhi syarat.
Baca juga: Waspada Teror Ular! Bulan Januari Jadi Masa Ular Bertelur dan Menetas
Baca juga: Ribuan Ikan Terdampar di Baubau, Pertanda Gempa Besar? Terjadi di Cilacap Sebelum Gempa Majene
Baca juga: Sosok Kompol Dani Kurniawan Kapolsek Semarang Utara, Alumni Akpol 2009, Sedikit Bicara Banyak Kerja
Baca juga: Terungkap Alasan Al Hasan Putra Sulung Syekh Ali Jaber Tak Menangis Dapat Kabar Kematian
Dalam surat pengumuman Sekda Jawa Tengah selaku penyelenggara CPNS, Baihaqi gugur karena salah memilih jenis formasi.
Yang dilamar adalah formasi khusus difabel daksa, sedangkan Baihaqi seorang difabel netra.
"Gugatannya sudah disidangkan beberapa kali.
Saat ini sudah sampai pemeriksaan keterangan ahli," kata Naufal, Jumat (15/1/2021).
Dia menuturkan, saksi ahli yang didatangkan yaitu dari Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) Pusat.
Dalam persidangan, saksi ahli menjelaskan, formasi disabilitas pada CPNS merupakan jalur afirmatif untuk penyandang disabilitas.
"Ahli menyatakan, tidak boleh ada pembedaan jenis maupun ragam disabilitas dalam seleksi CPNS.
Peserta tidak boleh digugurkan hanya karena pembatasan syarat jenis disabilitas. Karena semua memiliki hak yang sama," paparnya.
Ditambahkan, saksi ahli juga menyampaikan bahwa semangat afirmatif action dengan menyediakan kuota khusus penyandang disabilitas itu sebenarnya memiliki roh kesetaraan.
Sehingga, ketika itu dibatasi berarti telah melanggar ketentuan.
"Pembedaan jenis maupun ragam disabilitas dalam penerimaan formasi khusus penyandang disabilitas adalah bentuk diskriminasi," ucapnya menirukan ahli.
Hal tersebut, katanya, menunjukan ketidakpahaman akan hak penyandang disabilitas sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan PP No.13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas.