Berita Jateng
Menteri Nadiem Isyaratkan Pembelajaran Tatap Muka di Sekolah Dibuka, Apakah Jateng Siap?
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengisyaratkan memperbolehkan membuka sekolah untuk memulai pembelajaran tatap muka (PTM).
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: galih permadi
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengisyaratkan memperbolehkan membuka sekolah untuk memulai pembelajaran tatap muka (PTM).
Mendikbud, Nadiem Makarim mendorong pemerintah daerah segera membuka PTM di sekolah. Ia khawatir terjadi learning loss pada peserta didik.
Learning loss yakni fenomena pada satu generasi yang kehilangan kesempatan menambah ilmu karena ada penundaan proses belajar mengajar.
PTM diberlakukan terutama di sekolah yang sulit melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Tatap muka juga harus dilakukan dengan protokol kesehatan dan dengan kapasitas separuh.
Ketua Pengurus Provinsi Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah, Muhdi, menuturkan berdasarkan survei yang dilakukannya, sekolah sudah siap melakukan belajar tatap muka ketika Kemendikbud mewacanakan sekolah dibuka 1 Januari 2021.
Kesiapan yang dimaksud yakni dengan menyiapkan sarana dan prasarana untuk kepentingan protokol kesehatan serta skema yang akan dipakai.
"Sekolah sudah siap sebetulnya, tetapi begitu ditunda lagi, mereka drop lagi. Saat ini tidak ada persiapan, karena tidak ada kepastian," kata Muhdi, Selasa (26/1/2021).
Ditambah lagi ketika ada Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), konstelasi berubah lagi.
Padahal sebelumnya, beberapa kabupaten/kota semangat dan gigih ketika PTM akan dimulai. Mereka menyiapkan persyaratan protokol kesehatan sedemikian rupa.
Kuncinya, kata dia, pemerintah harus mempersilakan sekolah memulai pembelajaran tatap muka kapanpun sepanjang siap menerapkan protokol kesehatan dengan sarana dan prasarana yang disyaratkan.
"Pemerintah jangan menunggu. Tapi intervensi mereka (sekolah). Mana yang sudah memenuhi, mana yang belum. Jika ada yang tidak cukup biaya untuk fasilitas, maka intervensi, mana sekolah yang butuh, berikan.
Sekolah memiliki BOS banyak karena siswanya banyak, tapi bagaimana yang siswanya sedikit namun sangat membutuhkan anggaran untuk sarana dan prasarana," ucapnya.
Muhdi mengatakan agar sekolah memastikan peserta didiknya aman tidak hanya di lingkungan sekolah, tetapi juga saat di perjalanan baik berangkat atau pulang.
Misalnya dengan tidak naik transportasi umum, diantar orangtua menggunakan kendaraan pribadi lebih diutamakan.
Bisa saja, sistem pembelajaran dengan sistem blended atau mixing antara tatap muka dan daring. Dengan begitu, siswa masih bisa berinteraksi secara langsung dengan guru saat proses belajar.
Ia khawatir jika PTM tidak dimulai yang akan menjadi korban adalah anak-anak.
Kondisi ini sangat memprihatinkan untuk masa tumbuh kembang anak.
Lantaran tidak semua pembelajaran yang didapat saat PTM bisa diperoleh saat PJJ, misalnya pembelajaran karakter atau soft skill.
"Jika PJJ terus berlanjut, apakah sudah pasti kalau di rumah mereka juga aman dari bahaya covid? Bagaimana buat mereka keluarga yang abai.
Apakah di sekolah yang sudah dirancang protokol kesehatannya tidak seaman di rumah yang belum tentu apakah sudah terancang atau belum," ujarnya.
Ia juga menyoroti selama PJJ, masih ada sekolah yang mengharuskan gurunya tetap datang ke sekolah. Padahal itu berisiko memunculkan kerumunan.
Selain itu, Muhdi sempat berkeliling untuk memantau sekolah di Jateng. Walhasil masih ada sekolah yang nekat untuk buka karena merasa daerahnya aman karena jumlah penularan sedikit.
Sekolah yang membuka kegiatan tatap muka juga ada yang karena kebanyakan siswanya merupakan keluarga yang tidak mampu.
"Artinya, mereka jika tidak ada pembelajaran tatap muka, artinya tidak ada pembelajaran apa-apa. Entah itu karena fasilitas, jaringan internet, dan sebagainya," terangnya.
Pada dasarnya, kata dia, PJJ hanya diperuntukan siswa menengah ke atas yang memiliki fasilitas untuk belajar virtual atau jarak jauh.
Untuk membuka sekolah saat pandemi ini, Muhdi menuturkan jangan hanya berpedoman pada status daerah tersebut. Bisa saja sekolah yang terletak di kecamatan atau desa tingkat kasus covid lebih rendah dibandingkan rata-rata kasus lingkup kabupaten/kota.
Selain itu, jika berpedoman pada status zona, juga akan sulit lantaran selalu fluktuatif. Yang terpenting, bahwa sekolah harus memastikan protokol kesehatan berjalan dengan baik.
"Pembelajaran daring tidak efektif. Jangan sampai bonus demografi yang terjadi saat ini menjadi bencana demografi," tandasnya.(mam)