Fokus
Antara Kudeta Myanmar dan Demokrat
Kata Kudeta beberapa hari terakhir sering disebut terkait dua peristiwa yakni di Myanmar dan Indonesia.
Penulis: Erwin Ardian | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM - Kata Kudeta beberapa hari terakhir sering disebut terkait dua peristiwa yakni di Myanmar dan Indonesia. Menurut Wikipedia, Kudeta yang berasal dari bahasa Prancis coup d'État atau disingkat coup berarti merobohkan legitimasi atau pukulan terhadap negara.
Kudeta bisa juga disebut sebagai tindakan pembalikan kekuasaan terhadap seseorang yang berwenang dengan cara ilegal dan sering kali bersifat brutal, inkonstitusional berupa "penggambilalihan kekuasaan", "penggulingan kekuasaan" sebuah pemerintahan negara dengan menyerang (strategis, taktis, politis) legitimasi pemerintahan kemudian bermaksud untuk menerima penyerahan kekuasaan dari pemerintahan yang digulingkan.
Merujuk definisi kudeta, apa yang terjadi di Myanmar sesuai dengan definisi kudeta. Pemerintahan yang sah secara hukum di bawah kepemimpinan Aung San Suu Kyi digulingkan oleh militer yang dikomandoi Jenderal Min Aung Hlaing.
Terlepas dari kontroversi kepemimpinan Suu Kyi yang dituduh bertanggungjawab atas pembantaian warga Rohingya, Myanmar yang baru saja lepas dari cengkeraman pemerintah militer selama puluhan tahun, kini terancam masuk ke lubang yang sama. Seburuk apapun kepemimpinannya, Suu Kyi adalah pemimpin sah hasil pemilu.
Kini mata Dunia akan melihat bagaimana keberlangsungan demokrasi di Myanmar. Beberapa negara bahkan sudah menyatakan diri tak hanya akan melihat saja. Amerika misalnya menyatakan tak bisa menerima adanya kudeta terhadap pemerintahan yang sah, dan sudah menyiapkan sanksi untuk Myanmar jika Suu Kyi tak segera dibebaskan.
Di Indonesia, di hari yang smaa dengan Myanmar, petinggi Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengaku akan dikudeta. Dalam sebuah jumpa pers, AHY menyatakan ada upaya kudeta terhadap kepemimpinannya di Partai Demokrat. Lalu dengan gamblang AHY menyebut ada keterlibatan pejabat penting negeri ini yang ikut merencanakan kudeta dan ingin merebut pucuk pimpinan Demokrat demi melaju sebagai capres di 2024. AHY pun tak sungkan meminta penjelasan dari Presiden RI Jokowi tentang bawahan presiden yang terlibat.
Nah, dalam hal ini, AHY memposisikan diri seolah sebagai kepala pemerintahan yang akan dikudeta. Posisi ini tentu rancu, mengingat AHY bukan bagian dari pemerintahan, melainkan pimpinan partai politik. Makin rancu lagi saat disebut kudeta direncanakan oleh pihak luar, karena umumnya kudeta datang dari dalam bukan luar pemerintahan.
• Peruntungan Shio Hari Rabu 3 Februari 2021
• Respons Pengungsi Rohingya Soal Kudeta Militer Myanmar, Tak Kasihan dengan Sang Suu Kyi
• Update Virus Corona Kota Semarang Rabu 3 Februari 2021
• Hasil dan Klasemen Liga Inggris Pekan ke 22, Manchester United Tempel Puncak Klasemen, Arsenal Kalah
Namun dalam politik semua sah-sah saja. Yang pasti isu yang dilempar oleh AHY sukses mengusik beberapa orang yang ‘dituduh’ ingin merebut kepemimpinan di Partai Demokrat. Kepala Staf Presiden Moeldoko yang langsung merespon keras pernyataan AHY. Moeldoko yang merasa menjadi tertuduh membantah keras pihaknya apalagi istana terlibat dalam rencana kudeta di tubuh Partai Demokrat. Selain Moeldoko, barisan para mantan petinggi Partai Demokrat ramai-ramai membantah upaya kudeta.
Meski berbeda substansi, di balik dua peristiwa berbau kudeta itu, ada satu kesamaan yang harus dipahami. Merebut kekuasaan yang sah melalui cara-cara inkonstitusional di iklim demokrasi terasa makin sulit. Tekanan dunia yang kini lebih banyak menganut nilai-nilai demokrasi tentu akan makin kuat. Hampir di semua negara hasil kudeta, kekuasaan para perebut takhta rata-rata tak berlangsung lama.
Belum lagi penderitaan yang akan dialami rakyat kecil akibat sebuah kudeta. Di tengah dukungan negara-negara di dunia terhadap pemerintahan Suu Kyi, pemerintahan militer rasanya akan sulit mempertahankan kemakmuran rakyatnya. Sedangkan bagi Partai Demokrat, sudah banyak contoh perebutan kursi pemimpin partai secara inkonstitusional yang berujung pada ambruknya partai. (*)