Hindari Multitafsir Pasal Karet, Pemerintah Siapkan Pedoman Interpretasi Resmi UU ITE
Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir.
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA - Pemerintah akan menyiapkan pedoman interpretasi resmi terhadap Undang-Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagai langkah meminimalkan dampak buruk dari implementasi pasal-pasal di dalamnya, sebelum dilakukan revisi.
Hal itu disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate, saat dikonfirmasi soal langkah pemerintah terkait dengan revisi UU ITE.
"Yang perlu disiapkan segera adalah pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE," katanya, kepada Kompas.com, Rabu (17/2).
Menurut dia, pembentukan pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE diinstruksikan Presiden Joko Widodo. Pedoman tersebut dibuat agar implementasi pasal-pasal UU ITE berjalan adil dan tak multitafsir.
Selain Kemenkominfo, pedoman itu juga akan disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Polri, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
Terkait dengan target penyusunan pedoman, Johnny menuturkan, akan ditentukan dalam pembahasan pertama pemerintah.
Johnny menuturkan, pedoman interpretasi resmi UU ITE bakal dibuat dalam bentuk yang bisa menjadi acuan formal, dan mempunyai kedudukan hukum. "Koordinasi pembahasannya dilakukan melalui Kemenko Polhukam," ujarnya.
Johnny sempat menyampaikan, Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE yang kerap dianggap sebagai pasal karet atau multitafsir sudah beberapa kali diuji di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hasilnya, MK selalu menyatakan bahwa pasal tersebut konstitusional, dan tak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada prinsipnya, dia menambahkan, UU ITE bertujuan untuk menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Jaminan keadilan dalam UU ITE diklaim telah diupayakan pemerintah.
Namun jika dalam pelaksanaannya tidak dapat memberikan rasa adil, Johnny menyatakan, terbuka peluang UU ITE direvisi kembali. "Kami mendukung sesuai dengan arahan Bapak Presiden," ucapnya.
Adapun, berdasarkan catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), setidaknya ada dua pasal dalam UU ITE yang dianggap multitafsir, yakni Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2).
Pasal 27 ayat (1) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Frasa "melanggar kesusilaan" dinilai memiliki konteks dan batasan yang tidak jelas.
Terkait dengan Pasal 28 ayat (2), ICJR menilai pasal itu tidak dirumuskan sesuai dengan tujuan awal perumusan tindak pidana tentang propaganda kebencian.
Pasal 28 ayat (2) memuat larangan bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pada praktiknya, pasal tersebut justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dan penyampaian ekspresi yang sah.
Menyambut baik
Adapun, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi menyambut baik keinginan Presiden Jokowi yang mengusulkan revisi UU ITE jika dinilai tidak memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.
Menurut dia, rapat kerja (raker) Baleg DPR bersama Menkumham dan PUU DPD pada 14 Januari 2021 telah menetapkan daftar prolegnas prioritas 2021 dan daftar prolegnas jangka menengah 2020-2024.
Sementara, revisi UU ITE masuk prolegnas jangka menengah 2020-2024 nomor urut 7, bukan masuk dalam daftar prolegnas prioritas 2021.
"Terhadap keinginan presiden untuk merevisi UU ITE pada dasarnya kami tidak keberatan. Bahkan sekaligus-Red) untuk menjunjung profesionalitas Polri sebagaimana disampaikan jenderal LSP (Listyo Sigit Prabowo) saat fit and proper test di Komisi III DPR. Untuk itu, jangan sampai UU ITE digunakan untuk menjerat orang atau kelompok kritis dengan mengada-ngada," katanya, kepada wartawan, Rabu (17/2).
Untuk diketahui, raker Baleg 14 Januari 2021 tentang pengesahan prolegnas sudah pernah dibahas di Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk dijadwalkan di paripurna. Namun, hingga kini penetapan prolegnas prioritas 2021 masih mengalami penundaan.
Baidowi menjelaskan, sesuai dengan UU No. 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), bisa saja Bamus menugaskan Baleg untuk menggelar raker ulang.
Raker ulang itu bisa mengubah prolegnas prioritas, yakni bisa menambah, mengurangi, ataupun mengganti daftar RUU yang diprioritaskan untuk dibahas.
"Atau bisa juga nanti di paripurna diputuskan. Namun, perlu ditegaskan bahwa keputusan prolegnas harus dibuat dalam rapat tripartit antara DPR, pemerintah, dan DPD," papar sekretaris fraksi PPP DPR itu. (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa/Tribunnews/Chaerul Umam)