Puisi
10 Puisi Umbu Landu Paranggi: Ibunda Tercinta, Sajak Dalam Angin hingga Kuda Merah
kumpulan puisi Umbu Landu Paranggi. Umbu Landu Paranggi meninggal dunia Selasa 6 April 2021.
Penulis: Awaliyah P | Editor: abduh imanulhaq
10 Puisi Umbu Landu Paranggi: Ibunda Tercinta, Sajak Dalam Angin hingga Kuda Merah
TRIBUNJATEG.COM - Penyair Umbu Landu Paranggi meninggal dunia Selasa 6 April 2021 sekitar pukul 03.55 WIB.
Mentor para penyair besar tanah air itu menghembuskan napas terakhir di RS Bali Mandara Denpasar.
Umbu sempat dirawat di rumah sakit sejak 3 April 2021.
Berikut ini kumpulan puisi Umbu Landu Paranggi:
1. Ibunda Tercinta
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
duka derita dan senyum yang abadi
tertulis dan terbaca jelas kata-kata puisi
dari ujung rambut sampai telapak kakinya
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
korban, terima kasih, restu dan ampunan
dengan tulus setia telah melahirkan
berpuluh lakon, nasib dan sejarah manusia
Perempuan tua itu senantiasa bernama:
cinta kasih sayang, tiga patah kata purba
di atas pundaknya setiap anak tegak berdiri
menjangkau bintang-bintang dengan hatinya dan janjinya
2. Ni Reneng
sebatang pohon nyiur
meliuk di tengah Denpasar
(akar-akarnya memeluk tanah
dan tanah memeluk akar-akarnya)
sudah terangkai sekar setangkai
menimba hawa tikar pandan
anyaman bulan di pelataran
maka kuapung-apungkan diri
berayun dan beriring menghilir
telah tereguk air telaga
dalam satu tarikan nafas
bangau tak pernah risau
akan warna helai teratai
lalu menebal dasar telaga
melayani turun-naiknya embun
datang dan perginya sekawanan pipit
perdu saja mengerti kesusahan langit
sandaran sikap kepala kita
dalam rimba babad prasasti
dan ritus tubuh tarian
selembar demi selembar daun sirih
menyalakan perbincangan senja senja
dalam perjalanan meraut kecemasan
antara sehari hari kefanaan
dan arah keabadian
sepasang mata angin
di sini, di pusaran jantung Bali
ibu, biar bersimpuh rohku
pada kedua tapak tanganmu
bekal ke sepi malam malam mantram
memetik kidung cipratan bening embun
menyusuri jelajahan jejak aksara
menjaga kemurnian rasa dahaga
dan lapar gambelan sukma kelana
jika kematian kebahagiaan kayangan
maka sia-sia derita mengempang raga
masih misteri sisa warna matahari
lalu kubaca-baca keriputmu
(ke mana-mana jalanan basah
bayang-bayang pohon peneduh)
dan gelombang riang di rambutmu
sebumbang kesadaran sunyi
melaut permainan cahaya
kesabaran ombak memintal pantai
jukung-jukung cakrawala menjaring angin
sambil mempermainkan punggung tangan
dan telapak bergurat rahim semesta
kata ibu keindahan itu
sedalam seluas samudera mistika
menyangga langit kerinduan kita
bersamamu kutemui pondok di dasar laut
di mana bunga-bunga bermekaran
harum bau nyawa tarian
dan semerbak syair selendang purba
3. Melodia
cintalah yang membuat diri betah untuk sesekali bertahan
karena sajak pun sanggup merangkum duka gelisah kehidupan
baiknya mengenal suara sendiri dalam mengarungi suara-suara luar sana
sewaktu-waktu mesti berjaga dan pergi, membawa langkah ke mana saja
karena kesetiaanlah maka jinak mata dan hati pengembara
dalam kamar berkisah, taruhan jerih memberi arti kehadirannya
membukakan diri, bergumul dan merayu hari-hari tergesa berlalu
meniup seluruh usia, mengitari jarak dalam gempuran waktu
takkan jemu-jemu napas bergelut di sini, dengan sunyi dan rindu menyanyi
dalam kerja berlumur suka duka, hikmah pengertian melipur damai
begitu berarti kertas-kertas di bawah bantal, penanggalan penuh coretan
selalu sepenanggungan, mengadu padaku dalam deras bujukan
rasa-rasanya padalah dengan dunia sendiri manis, bahagia sederhana
di ruang kecil papa, tapi bergelora hidup kehidupan dan berjiwa
kadang seperti terpencil, tapi gairah bersahaja harapan impian
yang teguh mengolah nasib dengan urat biru di dahi dan kedua tangan
4. Percakapan Selat
Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan
sepi yang lalu dingin gumam terbantun di buritan
juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda
di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala
Laut bersuara di sisi, makin berbenturan dalam kenangan
rusuh yang sampai, gemas resah terhempas di haluan
pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu
di mana-mana, di mana-mana, mengepung dendam rindu
Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu
mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu
namun membujuk jua langkah, pantai, mega, lalu burung-burung
Mungkin sedia yang masuk dalam sarang dendam rindu
saat langit luputkan cuaca dan laut siap pasang
saat pulau-pulau lengkap berbisik, saat haru mutlak biru
5. Aide Memoire
bukalah jendela, di luar angin
menyiapkan pelaminan kemarau
sebelum burung-burung dan daunan
luput dari nyalang pandang dukaku
catatan-catatan mengubur segala kecewa
upacara kecil hari-hari kelampauanku
bukalah kerudung jiwa di sini
gemakan kenangan pengembaraan sunyi
jauh atau dekat, dari ruang ini
sebelum sayap-sayap derita dan kerja
pergi berlaga mendarahi bumi
dan dengan gemas menyerbu kaki langit itu
di mana mengkristal rindu dendamku abadi
6. Tujuh Cemara
sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
si tua muda yogyakarta
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
tujuh cemara
di jantung Yogyakarta
barisan rindudendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati
tujuh gelandangan
(buah asam malioboro)
memanggul gitar nembakkan syair lagu
mentari jalanan bulan lorong kumuh
antara kampung kampus, gubuk gedongan
singsing singsing fajar lenganmu
prosesi tugu pasar alun-alun
bongkar pasang dadadadamu
kang becak andong muatan perkasa
kilatan raut pasi berpeluh debu
ciumlah bumi yang nerbitkan sayangmu
nyelamlah lubuk urat nadi hayatmu
tujuh gunung seribu yogya
seribu tarian gang malioboro
tujuh pikul daun pisang ibu beringharjo
(nasi bungkus pondokan selasa rabumu)
tumpukan hijau restu sanubari jelata
sujud bibir pecah yang mengulum kata sejati
hulubalang benih ilham di siang malammu
tujuh cemara gelandang
tujuh gunung seribu saksi tak bisu
gelaran tak sunyi gusargusur kakilima
bentangan dukacita langit sukma
manggang biji mata di kawah candradimuka
tak kau dengar keliling kidung sembilu
meronda dan menggedor mimpi mimpi igaumu
(tak kau ingat peta rute juang gerilya
gercik darah tumpah meriba pertiwi)
di bawah jam kota tujuh pengemis tua
bertumpu seperti mendoakan kita semua
di bawah tapak sudirman kami mangkal malam-malam ini
sisa sampah debu revolusi
sapu dan lego dalam seni
di ibu kota kata sendi kata
(yogya sudah lama kembali)
kembalilah ke yogyakarta
cemara tujuh denyar puisi
tujuh cemara
di jantung yogyakarta
barisan rindudendam menghela anginmu
terjaring di kampus tua
tertanam cinta terdera
di surut hari mencari
debar puisi di hati
7. Seremoni
dengan mata pena kugali gali seluruh diriku
dengan helai helai kertas kututup nganga luka lukaku
kupancing udara di dalam dengan angin di tanganku
begitulah, kutulis nyawaMu senyawa dengan nyawaku
8. Sajak Dalam Angin
Sebelum sayap senja
(daun-daun musim)
Sebelum hening telaga
(burung-burung malam)
Sebelum gunung ungu
(bisik suara alam)
Sebelum puncak sayu
(napas rindu dendam)
Sebelum langkah pengembara
(hati buruan cakrawala)
Sebelum selaksa kata
(sesaji upacara duka)
Sebelum cinta itu bernama
(sukma menguji cahaya)
Sebelum keningmu mama
(kembang-kembang telah bunga)
Sebelum bayang atau pintumu
(bahasa berdarah kenangan maya)
Kabut itu dikirimkan hutan
Gerimis itu ke padang perburuan
Gema yang itu dari gua purbani
Merendah: dingin, kelu dan sendiri
Namaku memanggil-manggil manamu
Lapar dahaga menghimbau
Dukamu kan jadi baka sempurna
Dan dukaku senantiasa fana
9. Sajak Kecil
(1)
dengan mencintai
puisi-puisi ini
sukma dari sukmaku
terbukalah medan laga
sekaligus kubu
hidup takkan pernah aman
kapan dan di mana pun
selamanya terancam bahaya
dan kebenaran sunyi itu
penawar duka bersahaja
selalu risau mengembara
mustahil seperti misteri
bayang-bayang rahasia
bayang-bayang bersilangan
bayang lintas bayang
pelintasanku
(2)
dengan mempercayai
kata kata kata
yang kutulis ini
jiwa dari jiwaku
jadilah raja diraja
sekaligus budak belian
sebuah kerajaan
purbani
lebih dari nafasku
bernama senantiasa
nasibmu
umbu landu paranggi
10. Kuda Merah
kuda merah musim buru,
berapa kemarau panjang maumu
jantung yang akan terbakar hangus,
satu cambuk api lagi
peluki padang anak angin
dan batu gunungku purba
melulur bayang-bayang di pasir waktu :
rahasia cinta
(iam/tribunjateng.com)