Sudah 706 Orang Tewas di Tangan Pasukan Keamanan Myanmar, Kekerasan Terus Berlanjut
Korban warga sipil di Myanmar terus berjatuhan. Pasukan keamanan masih menggunakan kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa
NAY PYI TAW, TRIBUN - Korban warga sipil di Myanmar terus berjatuhan. Pasukan keamanan masih menggunakan kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa menentang pemerintah militer atau Junta Myanmar.
Dikutip dari Channel News Asia, ada laporan di media sosial mengatakan, telah terjadi penembakan oleh pasukan keamanan di Kota Tamu, di barat laut Myanmar pada Senin (12/4).
Tak hanya itu, polisi juga membubarkan aksi protes di Mandalay, kota terbesar kedua di Myanmar, dengan menggunakan kekerasan.
Rincian korban akibat tindakan pasukan keamanan tersebut sulit diketahui, karena Junta telah membatasi akses internet broadband dan layanan data seluler. Saat dimintai keterangan, seorang juru bicara Junta juga tidak dapat dihubungi.
Sementara itu, pada Jumat (9/4) lalu, sebanyak 82 demonstran dilaporkan tewas dibunuh pasukan keamanan di Kota Bago, sekitar 70 kilometer timur laut Kota Yangon, Myanmar. Banyak penduduk kota yang telah melarikan diri, menurut akun di media sosial.
Seorang demonstran bernama Ye Htut, mengungkapkan, penembakan dimulai sebelum fajar akhir pekan lalu dan berlanjut hingga sore hari. "Ini seperti genosida, mereka menembaki setiap bayangan," ujarnya.
Menurut catatan Kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), hingga kini total kematian akibat kekerasan pasukan keamanan yakni 706 jiwa, termasuk 46 anak-anak.
Juru bicara Junta, Mayjen Zaw Min Tun, pada konferensi pers Jumat (9/4) di ibukota Nay Pyi Taw, mengatakan, militer telah mencatat 248 kematian warga sipil dan 16 kematian polisi. Pihaknya juga menyebut tidak menggunakan senjata otomatis.
Adapun, surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola negara, memberikan klarifikasi terkait dengan peristiwa di Bago. Pihak Junta mengatakan, demonstran yang disebutnya sebagai 'perusuh' dipersenjatai dengan senjata darurat oleh kelompok tertetu.
Demonstran disebut menyerang pasukan keamanan yang mencoba membersihkan barikade pengunjuk rasa. Junta juga mengklaim, hanya ada satu demonstran yang tewas dalam peristiwa tersebut. "Bukti granat dan amunisi yang disita menunjukkan senjata kecil digunakan," kata surat kabar itu.
Sidang Suu Kyi
Adapun, pemimpin pemerintahan sipil terpilih, Aung San Suu Kyi, yang telah direbut kekuasaannya oleh militer, masih ditahan sejak kudeta 1 Februari 2021.
Aung San Suu Kyi dikabarkan akan muncul melalui siaran langsung video di sidang pengadilan atas dakwaan terhadapnya.
Diketahui, penerima Penghargaan Nobel Perdamaian itu telah didakwa melanggar tindakan rahasia resmi era kolonial. Ancaman hukuman akibat pelanggaran itu yakni kurungan penjara maksimal 14 tahun.
Selain itu, Aung San Suu Kyi juga didakwa melanggar protokol covid-19, memiliki walkie talkie yang diimpor secara ilegal, dan juga dituduh melakukan penyuapan. Pengacara Aung San Suu Kyi mengatakan, tuduhan Junta itu dibuat-buat.
Sementara, demonstran antikudeta menyerukan agar orang-orang menunjukkan penentangan terhadap Junta dengan menggunakan kostum dan menggelar doa bersama, Senin (12/4).
Acara tersebut akan dilaksanakan selama liburan tahun baru tradisional Myanmar, yakni pada 13-17 April.
Tahun baru yang dikenal sebagai Thingyan adalah hari libur paling penting dalam setahun, dan biasanya dirayakan dengan doa, ritual pembersihan patung Buddha di kuil, dan semburan air dengan semangat tinggi ke jalanan.
Pemimpin kelompok demo Komite Kolaborasi Pemogokan Umum, Ei Thinzar Maung, melalui Facebook-nya, mengatakan, Junta tidak memiliki Thingyan.
Ia menegaskan, kekuasaan rakyat ada di tangan rakyat, dan rakyat yang bersatu perlu mempertahankan Thingyan. "Dewan militer tidak memiliki Thingyan. Kekuasaan rakyat ada di tangan rakyat. Rakyat yang bersatu perlu mempertahankan Thingyan rakyat," ucapnya.
Selanjutnya, Ei Thinzar Maung meminta umat Buddha untuk mengenakan pakaian religius tertentu dan membaca doa bersama.
Sedangkan bagi anggota komunitas Kristen diminta mengenakan pakaian putih dan membaca mazmur. Menurut dia, penganut agama lain harus mengikuti arahan pemimpinnya. (Tribunnews/Kontan.co.id)