Warga di Kendal Pasung Anak Tantrum Sampai Buta, Dikira Kerasukan Roh Jahat
Mereka berpikir anak mereka yang seorang penyandang disabilitas lebih dikaitkan ke hal mistik berupa kemasukan roh jahat.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo
Penulis : Iwan Arifianto
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Anak penyandang disabilitas masih banyak yang belum mendapatkan hak-haknya.
Bahkan masih ada beberapa penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan tak manusiawi.
Mulai di pasung hingga buta, tidur bersebelahan dengan kandang kambing dan perlakuan buruk lainnya.
Hal itu dipicu kurangnya edukasi orangtua yang menyebabkan anak penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan yang tak semestinya.
Perwakilan PPDI Kota Semarang, Laili N Linda Fatmawati mengatakan, perlakuan tak adil bagi penyandang disabilitas masih ditemukan.
Anak penyandang disabilitas yang dipasung dia temukan di daerah Limbangan, Kendal.
Anak itu jenis kelamin laki-laki usia di bawah 17 tahun.
Hingga kini anak tersebut masing dipasung oleh orangtuanya di rumah.
Anak itu mengidap autisme hiperaktif sehingga ketika tantrum mengamuk.
Orangtua yang tak tahu cara menghadapi anaknya saat tantrum memilih memasungnya.
Bahkan mereka menganggap anaknya kemasukan roh jahat sehingga memilih dipasung.
Akibat pemasungan itu si anak mengalami kebutaan.
"Kami mendapatkan informasi tersebut memang terlambat sehingga anak tersebut dipasung hingga buta.
Hingga kini kami masih berusaha membujuk orangtua anak tersebut," katanya.
Menurut dia, kesulitan yang dihadapi para relawan dan para guru SLB lantaran keyakinan orangtua yang masih kolot.
Mereka berpikir anak mereka yang seorang penyandang disabilitas lebih dikaitkan ke hal mistik berupa kemasukan roh jahat.
Mereka membentengi diri sehingga petugas kesulitan untuk membujuk agar anak tersebut mendapat perlakuan layak.
"Orangtua selalu bilang itu anaknya jadi orang lain tak perlu mencampurinya.
Namun para petugas belum menyerah dan masih terus membujuk," terangnya.
Untuk di Kota Semarang, kata dia, tak kalah mirisnya.
Kejadian yang menimpa para penyandang disabilitas di Kota Semarang ada seorang anak difabel ditempatkan bersebelahan kandang kambing di Rowosari, Tembalang, Kota Semarang.
Anak itu penyandang difabel down syndrome.
"Hal itu kami temukan saat home visit.
Kami lantas menanganinya.
Mirisnya Ayah anak difabel itu lebih rajin mengurus kambing daripada anaknya," kata dia.
Dia tak memungkiri kejadian-kejadian tersebut seringkali ditemukan di daerah pedesaan.
Kurangnya edukasi dari pihak-pihak terkait membuat orangtua cenderung abai.
"Tentu edukasi harus melibatkan harus dari berbagai pihak baik dari pemerintah, tenaga medis, komunitas dan lainnya," terangnya.
Persoalan di perkotaan yang dihadapi para penyandang disabilitas di Kota Semarang juga tak kalah peliknya.
Mereka mendapatkan pelecehan seksual ketika beraktivitas di tempat umum.
Dominasi difabel yang mendapatkan pelecehan teman tuli dan netra.
"Contohnya saat mereka naik BRT mereka sering dilecehkan lantaran kondisi mereka yang kekurangan.
Belum lagi bullying yang menimpa mereka di lingkungannya," paparnya.
Dia pun mendorong Pemkot Semarang untuk segera membentuk Perwal Disabilitas.
Perwal tersebut dibutuhkan para teman-teman disabilitas Kota Semarang sebagai payung hukum mereka ketika ada persoalan.
Sekaligus menjamin disabilitas untuk memperoleh hak-haknya.
"Selain untuk pemenuhan hak-hak difabel berdasarkan potensi yang ada juga menutup kemungkinan pemerintah daerah untuk abai terhadap persoalan disabilitas," terangnya.
Dia menyebut, 12 daerah dari 35 Kabupaten / Kota di Jateng sudah memiliki perda / perwal Disabilitas.
Mirisnya, Kota Semarang sebagai Ibu Kota Provinsi belum memiliki Perda tersebut.
Padahal penetapan Perda tersebut dilakukan untuk menjamin hak, kewajiban, peran dan kedudukan yang sama serta melindungi dari berbagai bentuk diskriminasi bagi penyandang disabilitas.
Hal itu sangat urgent dibutuhkan para teman disabilitas sehingga kami meminta Pemkot segera menyusun dan mengesahkan perwal Disabilitas.
Perwal atau perda tersebut sangat dibutuhkan teman-teman disabilitas sebagai payung yang menaungi disabilitas ketika ada masalah kami kuat," terangnya.
Selain itu, lanjut dia, disabilitas Kota Semarang juga membutuhkan unit layanan disabilitas.
Unit tersebut berfungsi sebagai wadah pelatihan inklusi bagi teman-teman disabilitas.
"Unit itu melatih disabilitas yang menitik beratkan pra bencana dan stretegi penanggulangan bencana," paparnya.
Dia mengatakan, para disabilitas juga membutuhkan pemberdayaan mulai dari ekonomi, politik, sosial kesehatan, tenaga kerja, akses fasilitas umum.
"Apakah kebijakan Pemkot Semarang untuk difabel berhasil atau gagal Pemkot harus melibatkan para disabilitas," ujarnya.
Meski demikian, dia tetap mengapresiasi lantaran sudah berusaha memenuhi hak-hak disabilitas.
Namun dia memberi catatan perlu ada perbaikan lantaran aksesibilitas penyandang disabilitas belum berjalan optimal.
"Hal itu dapat dilihat ne lalui kondisi fasilitas publik di Kota Semarang," katanya.
Dia menambahkan, Pemkot Semarang harus melakukan dua pendekatan mulai dari fokus pada kebijakan dan memperoleh fakta apakah kebijakan tersebut efektif atau sebaliknya.
Melakukan pemetaan dari bawah ke atas yang menekankan birokrat level bawah dan kelompok sasaran merupakan pengaruh yang paling utama dalam implementasi kebijakan.