Puisi
Puisi Rumah Cor Api Cak Nun Emha Ainun Nadjib
Puisi Rumah Cor Api Cak Nun Emha Ainun Nadjib: Demi keadilan hukum disingkirkan Demi kebenaran
Penulis: Awaliyah P | Editor: abduh imanulhaq
Puisi Rumah Cor Api Cak Nun Emha Ainun Nadjib
TRIBUNJATENG.COM - Puisi Rumah Cor Api Cak Nun Emha Ainun Nadjib:
Rumah Cor Api
Demi keadilan
hukum disingkirkan
Demi kebenaran
pengabulan ganti rugi dibatalkan
Demi ketenteraman
Air ludah harus kembali ditelan
Karena cahaya kemajuan harus memancar
Maka panduan dan penerangan harus luas tersebar
Karena program-program pembangunan harus lancar
Maka terkadang pasar ini dan bangunan itu perlu dibakar
Lihatlah rumah-rumah cor api
Lihatlah gedung-gedung berdiri di atas kuburan
Batu-batanya terbuat dari kesengsaraan dan airmata
Tembok-temboknya rekat oleh akumulasi ratapan
Tiang-tiangnya tegak karena disangga oleh pengorbanan
Di seberang itu engkau memandang
Rumah-rumah didirikan
Dekat di sisiku aku saksikan
Rumah-rumah digilas dan dirobohkan
Nun di sana engkau melihat
Rumah-rumah disusun-susun
Nun di sini aku menatap
Penduduk terusir berduyun-duyun
Ketika engkau berdiri di depan
hamparan tanah luas yang engkau beli
untuk mendirikan ratusan rumah dan
ribuan pemukiman manusia abad 21,
pernahkah terlintas di kepalamu
ingatan tentang beribu-ribu saudara-saudaramu
yang kehilangan tanahnya
Pernahkah engkau ingat betapa beribu-ribu orang itu
tak dianggap memiliki hak untuk mempertahankan tanahnya,
dan ketika mereka terpaksa menjualnya,
mereka juga tak dianggap memiliki hak untuk menentukan
harga petak-petak tanah mereka
Ketika engkau menempati rumah itu, tahukah engkau
siapa nama tukang-tukang yang menumpuk batu-batanya,
yang mengangkut pasir dan memasang genting-genting
Ketika engkau memijakkan kakimu di lantai rumahmu
dan meletakkan punggungmu di kasur ranjang,
pernahkah engkau catat kemungkinan muatan
korupsi dan kolusi di dalam proses pembuatannya,
sejak tahap tender sampai
pemasangan cungkup di puncaknya
Bagi berjuta-juta saudara-saudaramu yang
tak senasib denganmu, yang bertempat tinggal
tidak di pusat uang dan kekuasaan:
pernah engkau sekedar berdoa saja
bagi kesejahteraan mereka
Dunia sudah amat tua
Darahnya kita hisap bersama-sama
Kehidupan semakin rapuh
Dan sakit kita tidak semakin sembuh
Langit robek-robek
Badan kita akan semakin dipanggang hawa panas
Sejumlah pulau akan tenggelam
Lainnya menjadi rawa-rawa
Anak cucumu akan hidup sengsara
Karena rangsum alam bagi masa depan
telah dihisap dengan semena-mena
1994
(*)