Berita Semarang
LBH APIK Prihatin Praktik Perkawinan Anak di Semarang: Mayoritas Aduan Diselesaikan dengan Menikah
Sinetron itu menampilkan adegan tak pantas diperankan oleh perempuan berusia 15 tahun, yakni tokoh Zahra yang diperankan Lea Ciarachel.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: M Syofri Kurniawan
Terutama dalam memberikan hak-hak korban di antaranya hak restitusi, hak pendidikan, hak rehabilitasi, dan hak anak korban.
Untuk kasus kekerasan seksual yang dialami oleh korban harus diproses hukum dengan memberikan sanksi hukuman penjara secara maksimal terhadap pelaku untuk memberikan efek jera terhadap pelaku.
Hukuman maksimal penjara terhadap pelaku tidak sebanding dengan trauma korban dari perbuatan pelaku yang dirasakan seumur hidup.
"Sekaligus memberikan edukasi kepada masyarakat terutama aparat penegak hukum bahwa perkawinan anak bukan solusi dalam penanganan kasus kekerasan seksual," ungkapnya.
Menurut catatan tahunan LBH APIK Semarang di tahun 2016 – 2020, masih menemukan kasus kekerasan seksual terhenti dalam proses hukumnya.
Pasalnya korban mencabut laporan atau memilih menyelesaikan secara mediasi.
Hal itu masih ditemukan aparat penegak hukum sebagai bentuk intimidasi dari pelaku atau keluarga pelaku yang menyarankan mediasi agar korban menikah dengan pelaku.
"kasus ini ditemukan khususnya pada kasus kekerasan seksual dengan kehamilan yang tidak diinginkan," ujarnya.
Dia menjelaskan, dari segi hukum perkawinan anak jelas dilarang secara tegas.
Merujuk ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menyebutkan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Sementara ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyebutkan perkawinan hanya diijinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.
Perkawinan anak termasuk bentuk kekerasan karena perkawinan anak melanggar aturan hukum yang berlaku di Negara Indonesia.
Yakni melanggar UU nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, UU nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan, dan UU nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Serta aturan hukum lainnya yang mengatur mengenai perlindungan terhadap anak.
Maka perkawinan anak termasuk bentuk kekerasan seksual terhadap anak dan perdagangan anak.