Berita Banjarnegara
Anaknya Menderita Hedrosefalus, Ati Warga Kebondalem Banjarnegara Berjuang Sendiri Hidupi Keluarga
Keluarga Dwi Aryanto (9) penderita hidrosefalus dari Desa Kebondalem, Kecamatan Bawang Banjarnegara bisa bernafas lega
Penulis: khoirul muzaki | Editor: muslimah
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Keluarga Dwi Aryanto (9) penderita hidrosefalus dari Desa Kebondalem, Kecamatan Bawang Banjarnegara bisa bernafas lega.
Bocah malang itu akan menerima kunjungan dokter setiap pekan.
Dwi menderita hidrosefalus sejak berusia dua bulan dan kondisinya sangat memprihatinkan.
Seiring berjalannya waktu, kondisi Dwi tak juga membaik, malah kian mengenaskan.
Terlebih ia juga menderita gizi buruk sehingga pertumbuhannya kurang optimal.
Di usianya yang ke 9 tahun, bobotnya hanya 6,5 kilogram. Badannya tampak mungil dan kurus, seperti tinggal kulit dan belulang.
Baca juga: Penghasilan Tiba-tiba Melejit hingga 50 Juta, Warga Desa Mengira Siboen Pakai Pesugihan, Faktanya?
Baca juga: ABG 15 Tahun Dilarikan ke Rumah Sakit Setelah Main dengan PSK, Begini Ceritanya
Ia hanya melewati hari-hari yang merana di pembaringan. Dwi tak bisa menikmati masa kecil yang penuh keceriaan.
Saat teman-teman sepantarannya asyik bermain dan bersekolah untuk menatap masa depan, Dwi harus berjuang untuk sembuh dari penyakitnya yang langka.
Kedatangan tim medis Rumah Sakit Islam Banjarnegara ke rumahnya membuat raut wajahnya berbinar.
Jarang sekali ia kedatangan tamu yang bukan hanya memberikan belas kasihan, namun juga mau berbuat lebih untuk upaya kesembuhannya.
"Kami akan memantau terus kondisinya, untuk memperbaiki kondisi kesehatan umumnya. Karena dia mengalami kondisi gizi buruk. Setiap minggu dokter akan memeriksa bersama tim medis untuk perbaikan nutrisinya," kata Direktur RSI Banjarnegara dr Agus Ujianto SpB, Rabu (9/6/2021)
Selasa (8/6/2021), tim medis RSI mendatangi kediaman Dwi di Desa Kebondalem. Perjalanan menuju rumah Dwi cukup panjang.
Rumahnya berada di gugusan pegunungan selatan yang jauh dari perkotaan.
Butuh waktu satu jam untuk menaklukkan jalan pegunungan nan berliku menuju rumah anak itu.
dr Mirza Nuchalida mengatakan, sebelum ke rumah anak Dwi, pihaknya telah berkoordinasi dengan Puskesmas Bawang 2.
Sesampai di rumah sederhananya, Dwi ternyata sedang menangis. dr Mirza tanpa ragu langsung menggendong anak itu hingga tangisnya mereda.
Di gendongan sang dokter, muka Dwi tampak lebih ceria.
"Hallo adek Dwi, gimana kabarnya. Sama bu dokter langsung senyum senyum aja nih," kata Mirza mengawali pembicaraan sebelum memeriksanya.
Mirza mengatakan, pihaknya akan memperbaiki gangguan nutrisi yang dialami Dwi, sedikit demi sedikit. Pihaknya akan memberikan susu yang cocok dengan usianya, makanan tambahan, vitamin dan madu.
Pihaknya memahami kondisi keluarga yang pasti kesulitan jika harus membawa Dwi bolak balik rumah sakit. Karena itu, pihaknya memutuskan jemput bola untuk memantau kondisi kesehatan Dwi secara berkala.
"Keluarga kesulitan kalau harus datang ke rumah sakit, maka kita yang melakukan home visit," kata Mirza.
Melalui kunjungan langsung ke rumah, dokter muda kelahiran Banjarnegara tersebut berharap kondisi Dwi terpantau kondisi kesehatan maupun nutrisinya.
Tak kalah penting, keluarga juga bisa bebas berkonsultasi langsung dengan dokter yang memeriksa.
Ati Manisem, ibu Dwi mengatakan, anaknya lahir secara normal. Tetapi saat memasuki usia dua bulan, kepala Dwi mulai membesar.
Ia pun sempat membawa anaknya ke rumah sakit untuk mendapat kesembuhan.
Tetapi kondisi anak itu justru terus memburuk hingga sekarang.
Perjuangan Ati lebih berat karena harus membesarkan kedua buah hatinya seorang diri. Terlebih satu anaknya, Dwi kondisinya memprihatinkan.
Sementara suaminya pergi tanpa kabar.
Tetapi Ati adalah ibu yang tegar. Ia tak putus asa terhadap kondisi yang menimpa keluarganya.
Ia terus berusaha mencari pengobatan untuk Dwi. Ati tetap mengusahakan perawatan di rumah sakit untuk Dwi.
Beberapa waktu lalu, Dwi bahkan sempat dirawat di rumah sakit 12 hari. Tetapi kondisi Dwi malah melemah. Berat badannya juga turun dari 6,5 kilogram menjadi kurang.
"Makanya saya bawa pulang," katanya.
Dwi terkadang berkomunikasi dengan cara menangis saat lapar.
Ati biasa menyiapkan bubur, susu, dan buah yang sudah dilembutkan untuk putra kesayangannya itu.
Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, termasuk kebutuhan Dwi, Ati harus bekerja keras. Ia mencari nafkah dengan membuka usaha kecil-kecilan warung kopi. Penghasilannya tak menentu.
Terlebih warung kecilnya berada di desa yang perputaran uangnya lambat.
Dari hasil usaha warung kopi, ia bisa mendapatkan uang antara Rp 25 ribu sampai Rp 50 ribu setiap hari.
Ati yang matanya berkaca kaca, berterimakasih kepada semua pihak yang telah rela membantunya.
"Terimakasih kepada semuanya yang telah rela membantu anak saya," katanya. (*)