Petani Tebu Siap Demo ke Jakarta, Tolak Pajak Sembako
(APTRI) secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako).
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: Daniel Ari Purnomo
Penulis: Mamdukh Adi Priyanto
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) secara tegas menolak rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan pokok (sembako).
PPN tersebut tertuang dalam revisi Undang Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sekjen DPN APTRI, M Nur Khabsyin meminta kebijakan itu dikaji ulang karena akan memberatkan kehidupan petani.
"Saya kira perlu dikaji ulang. Apalagi saat ini masa pandemi dan situasi perekonomian sedang sulit. Ini akan berimbas ke seluruh Indonesia dan membuat gaduh masyarakat, terutama masyarakat petani," kata Khabsyin, dalam keterangannya, Minggu (13/6/2021).
Dalam draf beleid tersebut, komoditas gula konsumsi menjadi satu barang kebutuhan pokok yang dihapus atau dikecualikan dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN.
Dengan penghapusan itu, kata dia, artinya gula konsumsi akan dikenakan PPN.
Sebetulnya, sebelum 2017 gula konsumsi sudah dikenakan PPN, akan tetapi petani tebu protes melalui unjuk rasa di Jakarta. Sehingga, sejak 1 September 2017 gula konsumsi dibebaskan dari PPN.
"Saat itu petani beralasan bahwa gula adalah termasuk bahan pokok, kenapa kena PPN, sedangkan beras bebas dari PPN," jelas pria yang juga anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini.
Pengenaan PPN, lanjutnya, dipastikan akan merugikan seluruh petani tebu yang ada di tanah air. Lantaran, pengenaan PPN terhadap gula konsumsi pada ujungnya akan menjadi beban petani sebagai produsen.
"Pedagang akan membeli gula tani dengan memperhitungkan beban PPN yang harus dibayarkan. Ini tentu akan berdampak pada harga jual gula tani," ujarnya.
Khabsyin mencontohkan, saat ini harga jual gula di tingkat petani hanya laku 10.500 perkilogram, apabila dikenakan PPN 12 persen, maka yang diterima petani tinggal 9.240 perkilogram.
Harga itu dinilai jauh di bawah biaya pokok produksi sebesar 11.500 perkilogram. Padahal pada 2020, gula petani laku Rp 11.200 perkilogram tanpa ada PPN.
Menurutnya, pemerintah atau Menteri Keuangan mengenakan PPN sembako karena menilai saat ini harga pangan naik 50 persen sehingga ada kenaikan nilai tukar petani (NTP).
"Ini jelas pernyataan yang ngawur, justru sekarang ini harga pangan turun. Contohnya harga gula konsumsi turun dibanding tahun lalu karena impor kebanyakan dan daya beli menurun. Kalau terpaksa narik PPN, ya tarik saja kepada gula milik perusahaan-perusahaan atau pabrik gula, karena mereka sebagai pengusaha kena pajak (PKP), jangan gula milik petani," tegasnya.