Forum Mahasiswa
Forum Mahasiswa Rachmanto : PPKM dan Kontribusi Agamawan
Sudah lebih dari 14 purnama virus ini beredar di sekeliling. Di awal tahun ini, optimisme menyeruak setelah Presiden Jokowi menerima vaksin Covid-19
Oleh Rachmanto
Mahasiswa S3 Studi Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan UGM
PANDEMI belum usai. Sudah lebih dari 14 purnama virus ini beredar di sekeliling. Di awal tahun ini, optimisme menyeruak setelah Presiden Jokowi menerima vaksin Covid-19. Kemudian program vaksinasi pun dilakukan secara gencar.
Meskipun begitu, dibutuhkan waktu untuk mendapatkan kekebalan komunitas (herd immunity). Sebab setelah vaksin disuntikkan ke dalam tubuh manusia, tidak serta merta virus hilang dan pandemi usai. Oleh sebab itu, masyarakat harus tetap waspada untuk menghindari diri dan orang terdekatnya dari serangan virus ini.
Kesadaran untuk melakukan ikhtiar sebaik-baiknya makin diperlukan pada akhir-akhir ini. Sebab “gelombang kedua” Covid-19 sudah mulai terlihat. Data dari Covid19.go.id, hingga tanggal 30 Juni 2021, terdapat 2.178.272 kasus positif, 1.880.413 sembuh, dan 58.491 meninggal dunia.
Puncak dari gelombang pertama terjadi pada akhir Januari 2021. Kemudian kasus Covid-19 mengalami penurunan hingga pertengahan Maret 2021. Sejak saat itu, kasus Covid-19 kembali meningkat dan hingga kini telah melampaui jumlah kasus pada akhir Januari 2021. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa dan Bali.
Upaya untuk menekan penularan virus corona secara masif perlu dilakukan semua pihak. Menyerahkan penanganan wabah hanya kepada pemerintah bukanlah langkah bijak. Sebab pemerintah memiliki berbagai keterbatasan. Di sinilah peran serta aktor-aktor lain dalam penanggulangan pandemi Covid-19. Dan agama menjadi penting diperhatikan.
Penalaran Publik
Menurut Bagus Laksana (2020: 95-96), pandemi menunjukkan pentingnya penalaran publik (public reasoning) yang merupakan pilar kultural dalam penanggulangan krisis. Contohnya di Amerika Serikat, public reasoning yang dominan adalah individualisme.
Ideologi kebebasan ini akhirnya mengalahkan kebaikan bersama (bonnum coomune) dan solidaritas. Hal ini mengakibatkan kebijakan publik dan protokol kesehatan tidak dilakukan karena dianggap bertentangan dengan kebebasan individu. Dalam lingkup Indonesia, penalaran publik tidak akan efektif tanpa peran agama-agama.
Berbicara agama, maka tokoh agama penting untuk berpartisipasi dalam pemberantasan Covid-19. Beberapa alasannya adalah:
Pertama, tokoh agama memiliki massa yang bisa diarahkan. Massa ini lantas akan mempengaruhi orang-orang di sekitar mereka. Misalnya, ketika tokoh agama memberi nasehat agar selalu mengikuti protokol kesehatan, maka massanya juga akan mengikuti. Informasi ini akan terus disebarkan hingga semakin banyak masyarakat yang mematuhi prokes.
Kedua, tokoh agama memiliki pengetahuan agama mendalam. Dia bisa mengeluarkan pendapat berdasarkan ilmu yang dimiliki. Misalnya mengajak masyarakat untuk tidak mengunjungi daerah yang terkena wabah dengan menggunakan referensi hadist Rasulullah. Masyarakat niscaya akan mengamini karena tokoh agama memiliki otoritas dalam bidang agama.
Ketiga, tokoh agama merupakan teladan. Ucapan dan perbuatannya merupakan hal yang akan diikuti orang lain. Dalam konteks penanganan pandemi, ketika tokoh agama selalu taat protokol kesehatan (menggunakan masker saat ke masjid, membawa sajadah sendiri, tidak berjabat tangan, dsb) maka akan ditiru pengikutnya.
Jadi Teladan
Pada kenyataannya, peran ini belum secara optimal dijalankan oleh tokoh agama. Sebagai gambaran, mudah menemui masjid-masjid yang berbeda dalam mematuhi protokol kesehatan. Ada masjid pertama, sangat ketat dalam menjalankan protokol kesehatan. Hanya jamaah bermasker yang diperbolehkan masuk. Jikapun ada jamaah yang tidak membawa masker, maka akan diberikan masker secara cuma-cuma.
Di setiap pintu masjid juga selalu tersedia hand sanitizer dan termo gun untuk mengecek suhu tubuh. Shafnya masih diberi tanda untuk menjaga jarak (bahkan jaraknya semakin diperlebar ketika terdengar lonjakan kasus).
Tidak ada lagi pengajian rutin mingguan. Hanya ada kultum yang dilakukan selepas magrib sepekan sekali. Prosedur ketat ini dilakukan sejak awal saat masjid diperbolehkan untuk digunakan. Dan hingga kini masih terus diterapkan.
Sebaliknya, ada juga masjid yang awalnya mengikuti protokol kesehatan sesuai anjuran pihak berwenang. Namun belakangan, sudah semakin mengendor. Karpet masjid kembali digelar. Mereka yang tidak menggunakan masker bebas keluar masuk beribadah. Sudah tidak ada lagi termo gun yang selalu digunakan.
Tanda untuk menjaga jarak semakin tidak terlihat. Jamaah yang menggunakan masker kini lebih sedikit dibanding jamaah yang tidak menggunakan masker. Protokol kesehatan yang lebih ketat hanya dilakukan ketika menjalankan ibadah sholat Jumat. Masjid kedua ini menunjukkan ternyata masih banyak tokoh agama yang menjalankan peran dan fungsinya secara optimal demi keselamatan bersama. (*)
Baca juga: Hotline Semarang : Apakah Perjalanan Kereta Api Masih Normal Selama PPKM Darurat?
Baca juga: Fokus : Darurat Merah Oranye
Baca juga: Hasil Lengkap EURO 2020: Lawan 10 Pemain Swiss, Spanyol Hanya Menang Lewat Adu Penalti
Baca juga: Virus Corona Varian Kappa Ditemukan di Jakarta, Berasal Dari India, Ini Perbedaannya dengan Delta