Wawancara
WAWANCARA : Addi MS : Saya Ingin Menjadi Musisi Bukan Komisaris
Grup musik yang bermula dari ajakan untuk tampil di acara rumahan ini nyatanya telah melalang buana ke berbagai macam negara.
Tapi tahun-tahun berikutnya saya bersyukur, dan ingat teman-teman yang bercanda taruhan paling dua bulan. Saya selalu tidak berhenti bersyukur. Sekarang sudah 30 tahun.
Bagaimana pandemi berdampak pada dunia musik?
Yang jelas di panggung, pemain orkes, pianis, atau kafe, itu memprihantinkan. Bahkan pengamen memprihatinkan juga, saya sedih dan selalu memikirkan mereka.Beberapa ada yang tidak punya asuransi. Sedih sebenarnya.
Tapi itu yang terjadi, beberapa merasa profesi musik tidak relevan dengan perkembangan zaman. Tidak ada yang bisa memprediksi kapan selesai pandemi.
Ada yang gantung biola, berganti profesi. Padahal untuk menjadi seorang profesional harus mengorbankan waktu dan lain-lain. Saya harus survive, tapi terus menyalakan api untuk berkreativitas. Kalau itu redup itu bahaya.
Dengan cara buku-buku lama yang belum sempat dibaca. Atau YouTube belajar dari situ. Terus menambah ilmu, lalu mengaplikasikan. Sambil memikirkan untuk membantu mereka yang tidak bisa bergerak.
Aktivitas sosial, cukup intens. Sebelum PPKM Darurat. Saya sempatkan sebelum pulang ada ngasih sumbangan alat kesehatan, masker segala macem, mungkin tidak cukup, tapi mengingatkan sesama untuk saling memikirkan, bahwa kita bisa melalui masa sulit ini.
Dengan semangat gotong royong bukan terus mengeluh pemerintah begini, kurang ini, dikit-dikit ngeluh, tapi look at yourself apa yang kamu bisa lakukan. Saya ngomong sama GM Plataran Hotel, apa yang bisa kita lakukan langsung pengadaan masker, sanitizer, mudah-mudahan yang melihat mau ikut juga.
Ada diskusi antar musisi untuk saling membantu?
Ada tapi bukan yang menonjol sekali. Komunitas-komunitas tertentu. Kalau bicara pandemi ini, meski bukan epedimiolog. Bukan dokter, tapi common sense, saya memiliki pandangan kita tidak bisa optimis epidemi akan berakhir pada waktu tertentu.1918 ada panic flu.
Second wave lebih dahsyat. Kemudian hilang begitu saja. Itu faktor x kita tidak tahu. Kemudian banyak virus yang belum ketemu vaksin, kok bisa kita hidup dengan virus itu. Muncul virus baru yang kita sedang berlomba-lomba menyempurnakan vaksin.
Orchestra identik dengan mahal dan kurang merakyat?
Gimana bisa merakyat instrumennya saja mahal. Kalau mau instrumen benar itu memang mahal. Tidak sama dengan kecrek-kecrek dengan gitar, ukulele kan bisa murah.Orkestra itu terompet, pianonya, pasti mahal. Belajarnya masuk conservatory prosesnya panjang, mahal, tapi di luar sana di negara-negara maju.
Di semua negara maju itu, musik ini mendapat bantuan dari pemerintah, subsidi. Seperti musik daerah sebenarnya harusnya dipelihara pemerintah, supaya musik terpelihara.
Musik simfoni suka tidak suka menjadi modernitas suatu bangsa dianggapnya. Di kita tidak ada hal itu, tidak ada bantuan yang cukup dari zaman Soeharto sampai sekarang.Zaman Soekarno perhatiannya lumayan.