Wawancara Eksklusif
WANSUS Fadjroel Rachman: Suka Duka Penyambung Lidah Presiden Mengelola Isu Negatif di Periode Kedua
Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengakui Istana dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi kerap 'diserang' dengan isu negatif di periode kedua.
TRIBUNJATENG.COM - Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman mengakui Istana dan Presiden Joko Widodo atau Jokowi kerap 'diserang' dengan isu negatif di periode kedua.Dua tahun, Fadjroel menjadi seorang 'penyambung lidah' dari Presiden Jokowi. Sejak itu, ia diminta untuk fokus menjawab pertanyaan berkaitan dengan demokrasi, hak asasi manusia, anti korupsi, toleransi, dan kehadiran negara kepada rakyatnya."Yang lain ada Pak Arief Budimanta bicara soal ekonomi, kemudian Dini Purwono soal hukum, Mba Angkie Yudistia soal sosial," ujar Fadjroel.
Hal itu disampaikan Fadjroel saat acara bincang santai bersama Direktur Pemberitaan dan Manajer Pemberitaan Tribun Network, yakni Febby Mahendra Putra dan News Manager Tribun Network, Rachmat Hidayat, Selasa (29/6).
Berikut petikan wawancara khusus Tribun Network bersama Fadjroel Rachman:
Apa suka duka Anda membantu Presiden Joko Widodo sebagai juru bicara?
Apapun yang diarahkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai atasan saya, itu adalah penghargaan tak ternilai buat saya.Dimanapun tugas negara yang diperintahkan Preiden Joko Widodo saya akan menjalankan sebaik-baiknya. Meskipun saat ini saya tidak bisa menjawab iya dan tidak.
Saya diangkat 21 Oktober 2019. Sehari setelah Presiden Joko Widodo dan Pak Ma'ruf Amin ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden. Jadi surat pertama yang ditandatangani presiden itu Keppres kepada saya sebagai juru bicara presiden.Nah sampai dengan sekitar Januari, Februari, Maret, itu saya selalu mendampingi beliau terus menerus. Di dalam negeri, di luar negeri, sampai di dalam mobil itu mas, saya menyediakan dua koper.
Karena biasanya beliau, Jumat itu setelah rapat terbatas. Biasanya langsung mengajak ke luar kota atau ke luar negeri. Sampai hari Minggu-Senin sudah kembali kerja. JADI SAYA KOPER satu di mobil, satu diturunkan untuk dicuci. Nah itu ke dalam atau luar negeri. Pertama itu Papua-Maluku 8 kabupaten/kota. Suka karena berdekatan, tahu secara langsung apa yang dipikirkan beliau. Tapi memang di tengah pandemi kita mengalami kesulitan, karena praktis pertemuannya dengan webinar.
Jadi tidak langsung,sehingga gestur beliau beberapa hal tidak mendapatkan. Saya kerap mendapat bantuan dari Pak Pratikno dan Pak Pramono Anung. Dalam masa pandemi ini, komunikasinya itu agak bercabang. Sering kali, beliau lebih banyak melakukan rapat terbatas. Pak Setneg dan Pak Seskab biasanya. Saya minta apa saja yang dibicarakan.
Karena tugas saya hanya boleh berbicara setelah beliau berbicara. Tidak boleh sebelum presiden berbicara. Baik pidato, arahan, regulasi, baru saya boleh menyampaikannya.Jadi duka sebenarnya bukan karena tidak nyaman, tapi karena memang ada batasan karena covid. Apalagi sekarang kondisi berat, dulu Salat Jumat bisa bareng. Sekarang hanya berlima. Terakhir ini betul-betul karena beliau very very important person.
Apa kesan yang Anda rasakan selama mendampingi beliau?
Presiden itu sangat hangat sebagai manusia dan sangat bersahabat. Selalu menghargai siapapun yang ada sekitar beliau. Tetapi kami tetap harus memperlakukan beliau sebagai presiden republik Indonesia.Saya memiliki logo di jas merah, adalah izin untuk mendekati beliau tanpa harus dihalangi sedekat mungkin. Berbisik boleh. Dan hanya pihak tertentu. Sikap itu hangat. Seperti tidak ada jarak.Tapi saya tentu perlu memperlakukan beliau seperti Presiden. Sangat hangat sebagai manusia.
Bagaimana Anda mengelola isu-isu negatif di periode kedua?
Di Istana ada Kemensetneg ada Seskab ada KSP, kami setiap pagi itu bersama-sama merumuskan satu narasi yang kita sebut sebagai narasi bersama atau narasi Istana. Didiskusikan isu apa yang akan ditanggapi, siapa yang menanggapi, dan bagaimana menanggapinya.
Tidak semua sebenarnya harus ditanggapi oleh saya atau Istana. Presiden Joko Widodo di periode kedua, beliau menciptakan ekosistem komunikasi dibagi. Ada yang istana, dan setiap Kemenko, Kementerian, Lembaga, memiliki juru bicara sendiri-sendiri.
Jadi diharapkan apapun yang ditanggapi oleh istana, hanya yang kebijakan presiden saja. Tapi yang sifatnya teknis disampaikan oleh Menko atau jubir, Kepala Lembaga atau Jubir Kepala Lembaga.
Komunikasi itu dipecah berdasarkan fungsinya masing-masing. Itu yang membantu kami lebih mudah menangani komunikasi di periode kedua. Di masa Pak Johan Budi belum ada pembagian seperti itu. Sering kali teman-teman wartawan menyerbunya ke istana.
Yang mestinya ditanyakan ke menteri atau kepala lembaga itu ditanyakan ke istana. Saya tugasnya memberitahu baiknya ini ditanyakan ke mana. Jadi kita bisa membantu wartawan sehingga mereka mendapatkan informasi sebaik-baiknya dengan materi lebih dalam.
Mana isu yang paling berat?
Saya lebih banyak diminta untuk menjaga soal demokrasi. Kemudian terkait Hak Asasi Manusia, anti korupsi, toleransi, dan kehadiran negara kepada rakyatnya.Sebenarnya selain saya, yang lebih banyak saya menangani soal politik dan pemerintahan. Ada lagi staf khusus yang boleh bicara, misal Pak Arief Budimanta bicara soal ekonomi, kemudian Dini Purwono soal hukum, Mba Angkie soal sosial.
Tapi wartawan memang kadang mengejar ke saya, seolah-olah saya satu-satunya yang bisa bicara. Makanya saya kerap mengarahkan kalau soal hukum kepada Mba Dini, ekonomi kepada Mas Arief, sosial ke Mba Angkie.
Karena saya diminta menjaga lima hal, yang paling berat problem terkait dengan demokrasi. Misalnya pertanyaan mengenai apakah presiden itu dua kali atau tiga kali. Itu isu yang terus berkembang bertahun-tahun.Saya kemarin masih menjawab pertanyaan soal itu. Apakah presiden dipilih langsung atau MPR, ya presiden bilang sesuai konstitusi tegak lurus. Yang ketiga terkait dengan Pilkada Langsung. Presiden bilang Pilkada harus langsung, karena saya anak reformasi jadi wali kota, gubernur, presiden.
Kalau tidak ada reformasi tidak mungkin anak pinggir kali, anak tukang jualan bambu, jualan furniture, mana mungkin jadi presiden. Biasanya yang jadi presiden kan semua orang-orang yang kelas atas. Ini rumah saja nyewa, kadang kebanjiran, bisa jadi presiden.Yang paling kami jaga adalah wilayah demokrasi, hak, toleransi, kemudian hak asasi manusia, dan kehadiran negara kepada masyarakat. (tribun network/denis destryawan)