Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Banjir Bandang di Jerman Tak Hanya Dampak Pemanasan Global

ada sejumlah hal yang menyebabkan banjir di Eropa itu bisa terjadi dan sangat parah, antara lain akibat cuaca yang tak biasa.

Editor: Vito
AP PHOTO/CHRISTOP REICHWEIN
Sebuah foto yang diambil dengan drone menunjukkan kehancuran akibat banjir Sungai Ahr di desa Eifel Schuld, Jerman barat, Kamis, 15 Juli 2021. 

TRIBUNJATENG.COM, BERLIN - Banjir Eropa yang melanda Jerman dan wilayah lain di barat Benua Biru digambarkan sebagai bencana, zona perang, dan belum pernah terjadi sebelumnya.

Hingga Minggu (18/7) setidaknya 183 orang tewas, dan jumlah korban dikhawatirkan masih terus meningkat.

Menurut para pakar yang dihubungi AFP, ada sejumlah hal yang menyebabkan banjir di Eropa itu bisa terjadi dan sangat parah, antara lain akibat cuaca yang tak biasa.

"Massa udara bermuatan banyak air terblokade pada ketinggian tinggi oleh suhu dingin, membuat mereka mandek selama 4 hari di wilayah tersebut," terang Jean Jouzel, ahli iklim dan mantan wakil presiden Panel Antarpemerintah dalam Perubahan Iklim (IPCC).

Sebanyak 100-150 milimeter hujan turun pada 14-15 Juli, menurut layanan cuaca Jerman. Jumlah itu biasanya terlihat selama 2 bulan.

Eropa sudah berulang kali dilanda banjir parah sebelumnya, tetapi pekan ini luar biasa dalam hal jumlah air dan kerusakan yang ditimbulkannya, menurut ahli hidrologi Jerman, Kai Schroeter.

Banyak politisi Eropa menyalahkan pemanasan global atas bencana itu, tetapi sayap kanan AfD Jerman menuduh mereka memanfaatkan banjir untuk mempromosikan agenda perlindungan iklim.

"Kami belum bisa mengatakan dengan pasti bahwa peristiwa ini terkait dengan pemanasan global. Tetapi, pemanasan global membuat peristiwa seperti ini lebih mungkin terjadi," tutur Schroeter.

IPCC juga mengatakan pemanasan global meningkatkan kemungkinan kejadian cuaca ekstrem. Dalam istilah teknis, perubahan iklim berarti Bumi menjadi lebih hangat, sehingga lebih banyak air yang menguap.

"Menyebabkan massa air yang lebih besar di atmosfer, meningkatkan risiko curah hujan yang tinggi," jelasnya.

Secara umum kenaikan suhu global rata-rata sekarang sekitar 1,2 derajat Celcius di atas rata-rata sebelum era Revolusi Industri. Padahal, kenaikan suhu rata-rata global 1 derajat saja bisa meningkatkan kapasitas atmosfer dalam menahan air sebesar 7 persen.

Para ilmuwan mengatakan, naiknya suhu global tersebut membuat hujan deras lebih mungkin kerap terjadi. Udara yang lebih hangat menahan lebih banyak kelembapan, yang berarti lebih banyak air akan dilepaskan saat hujan.

"Ketika kita mengalami hujan deras, maka atmosfernya mirip spons - Anda memeras spons dan air mengalir keluar," kata profesor Meteorologi Teoretis di Universitas Leipzig Johannes Quaas.

Geert Jan van Oldenborgh dari World Weather Attribution memperkirakan, perlu waktu beberapa pekan untuk melihat hubungan antara perubahan iklim dan hujan lebat yang terjadi di Eropa yang menyebabkan banjir.

World Weather Attribution merupakan sebuah jaringan ilmiah internasional yang menganalisis bagaimana perubahan iklim mungkin berkontribusi pada peristiwa cuaca tertentu.

"Kami cepat, tapi kami tidak secepat itu," kata van Oldenborgh, yang juga merupakan ilmuwan iklim di Royal Netherlands Meteorological Institute.

Beberapa ahli juga menyebut penyebab banjir Eropa adalah perencanaan kota yang buruk, dan meningkatnya jumlah bangunan di jantung kawasan industri padat penduduk.

Daerah yang terkena dampak diguyur hujan sangat deras dalam beberapa minggu terakhir, membuat tanah jenuh dan tidak mampu menyerap kelebihan air.

Ketika tanah ditutupi dengan bahan buatan manusia seperti beton, tanah kurang mampu menyerap air, sehingga meningkatkan risiko banjir. "Urbanisasi memainkan peran," ucap Jouzel.

Adapun, daerah yang paling parah terkena dampak adalah di dekat sungai kecil atau anak sungai tanpa penahan banjir.

"Sungai Rhine terbiasa dengan banjir dan kota-kota di sepanjang itu sudah membangun penahan, tidak seperti kota-kota dan desa-desa di sepanjang sungai-sungai kecil di kawasan itu," ungkap Armin Laschet, kepala wilayah Rhine-Westphalia Utara, yang dilanda banjir Jerman.

"Ketika sungai lebih lambat dan lebih lebar, air tidak naik lebih cepat dan ada lebih banyak waktu untuk bersiap," kata ahli hidrologi Kai Schroeter.

Pemerintah setempat mendapat kecaman di Jerman karena tidak segera mengevakuasi warga.

"Peramal cuaca mengeluarkan peringatan, tetapi tidak ditanggapi serius, dan persiapannya tidak memadai," kata Hannah Cloke, profesor hidrologi di Universitas Reading Inggris.

Beberapa warga juga sama sekali tidak menyadari risiko banjir hebat seperti itu. Puluhan orang ditemukan tewas di ruang bawah tanah mereka.

"Beberapa korban meremehkan bahaya dan tidak mengikuti dua aturan dasar saat hujan deras.Pertama, hindari ruang bawah tanah yang dimasuki air. Kedua, segera matikan listrik," urai Armin Schuster, yang mengepalai BBK, lembaga negara dalam bencana alam, kepada harian Bild. (Kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved