Guru Besar Hukum Unwahas: Hukum Pidana Jadi Penyebab Penjara Kelebihan Kapasitas Penghuni
Jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas menyebabkan overcrowding menjadi masalah klasik bidang pemasyarakatan.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Jumlah warga binaan yang melebihi kapasitas menyebabkan overcrowding menjadi masalah klasik bidang pemasyarakatan yang tidak kunjung rampung.
Belum lagi adanya pandemi Covid-19 membuat penghuni menjadi kelompok rentan karena sulit menjalankan protokol kesehatan, seperti menjaga jarak.
Untuk mengantisipasi penyebaran covid di lingkungan lembaga pemasyarakatan atau lapas, pemerintah pun mengeluarkan sejumlah kebijakan.
Selain menerapkan operasional prosedur dalam penanganan narapidana atau tahanan, juga mengeluarkan kebijakan asimilasi.
"Langkah dan strategi yang kami lakukan dalam menanggulangi penularan covid di lembaga pemasyarakatan. Yakni menerapkan kebiasaan baru dan protokol kesehatan, melakukan tes covid, mengisolasi penghuni, dan asimilasi atau napi menjalani sisa masa tahanan di rumah," kata Dirjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM, Irjen Pol Reinhard Silitonga saat webinar yang diadakan Fakultas Hukum Universitas Wahid Hasyim (FH Unwahas) Semarang, Kamis (23/9/2021).
Data pada Kemenkumham, sebanyak 148 ribu napi menjalani sisa masa pidana di rumah.
Tentu, ada prosedur ketat, evaluasi dan pemantauan dilaksanakan.
Mereka yang menjalani asimilasi juga wajib lapor hingga masa hukuman selesai.
Terkait vaksinasi, Reinhard membeberkan sebanyak 36 ribu petugas telah divaksin.
Sedangkan untuk penghuni ada sebanyak 100 ribu yang telah menjalani vaksinasi covid.
Jumlah penghuni se-Indonesia di lapas dan rutan hingga 20 September, ada sekitar 260 ribu orang.
Padahal, kapasitas normal yang ada dari seluruh lapas dan rutan yakni 120 ribu, ada kelebihan kapasitas (overcapacity) sebanyak 101 persen.
Kelebihan kapasitas penghuni di kota besar bisa mencapai 300 hingga 600 persen.
Sementara, jumlah penghuni yang terinfeksi covid ada 11 ribu orang, saat ini ada 80 orang yang menjalani isolasi dan sisanya sudah sembuh.
Namun, ada 48 orang yang meninggal.
"Pedoman prokes di pemasyarakatan terbukti efektif untuk tahanan. Namun, kapasitas masih jadi masalah klasik turun temurun yang tidak terselesaikan," imbuhnya.
Penghuni penjara, kata dia, didominasi pelaku pidana narkotika.
Menurutnya, pelaku narkotika tidak harus semuanya berakhir di penjara, bisa dilakukan dari segi kesehatan atau rehabilitas.
Kepadatan penghuni lapas atau overcrowding akan ada selama pemerintah hanya mengandalkan hukum dan kebijakan pengendalian kejahatan berbasis pidana atau kriminalisasi.
Overcrowding akan terus terjadi jika aparat hukum, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan terus melaksanakan hukum tanpa melihat implikasi pada populasi penjara.
Hal tersebut diungkapkan guru besar FH Unwahas, Prof Mahmutarom yang menjadi narasumber dalam webinar.
"Penanggulangan masalah kejahatan itu identik dengan penjara, kalau melihat dari berbagai kasus yang ada. Hampir semua perundangan yang berlaku di Indonesia memakai sanksi pidana," kata Mahmutarom.
Masih ada aturan kuno yang masih dijalankan aparat penegak hukum: tidak memenjarakan orang, tidak bekerja.
Keberhasilan mereka diukur dari perhitungan kuantitatif.
Menurutnya, saat ini semua memakai sanksi pidana penjara. Undang Undang tanpa ancaman penjara seperti makanan tanpa garam. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dianut sudah ketinggalan dua abad.
Pendekatan kriminalisasi atau pidana terbukti kurang efektif.
"Model penjara ada manfaatnya tidak? penghuni jera atau tidak? Kasus pembunuhan, pelaku dipenjara, itu berdampak dua keluarga (pelaku dan korban) terlantar. Tujuan negara mensejahterakan rakyat jadi memenjarakan rakyat. Banyak korban, yang tidak bersalah menikmati hotel prodeo," jelasnya.
Padahal, jika memahami keseimbangan dalam tujuan pemidanaan yakni perlindungan masyarakat (kepentingan Umum) dan perlindungan pembinaan atau individu.
Aturan hukum, kata dia, harus disesuaikan dengan kebutuhan manusia.
Jika penjara yang orientasinya pada harga diri sudah tidak mempan untuk pelaku kejahatan, bisa dilakukan tindakan yang berorientasi pada materi.
"Kalau orientasinya ke materi, tidak dipenjara, tapi dengan hukuman pidana denda. Penghasilan pidana denda bisa untuk negara, mensejahterakan bangsa Indonesia," ujar Mahmutarom.
Pengelolaan hukuman pada kejahatan jangan berkutat pada keadilan hukum formal.
Karena keadilan formal tidak gayut dengan nilai.
Dengan begitu, penghuni lapas bisa dikurangi, tidak menargetkan sekian orang yang dipenjara, tapi semua bisa diselesaikan.
Keanekaragaman hukuman bisa diwujudkan. Efektifitas pidana denda, ganti kerugian, rekonsiliasi, kompensasi, restitusi dihidupkan. Restitusi diambil dari pelaku.
"Pelaku bisa dimanfaatkan tidak dipenjara, tapi wujud pidana kerja sosial. Tidak harus hidup di LP, tapi suruh saja menyapu di pasar, kemudian membersihkan jalan dan terminal. Pidana sosial lebih bisa dirasakan manfaatnya, menguntungkan tidak merugikan. Pidana nonpenjara dihidupkan," katanya.(mam)