PTM Terbatas
BERITA LENGKAP : 40 Persen Sekolah Sudah PTM, Pandemi Bikin Anak Stres dan Berakibat Learning Loss
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan saat ini sudah ada 40 persen sekolah
TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengatakan saat ini sudah ada 40 persen sekolah yang menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas.
Namun ia menilai jumlah itu masih sangat sedikit. Karena itu ia mendorong semua sekolah di daerah yang dinyatakan aman Covid-19 bisa buka sekolah untuk PTM Terbatas.
”Alhamdulillah sudah 40 persen sekolah mulai tatap muka, tapi itu masih angka yang sangat kecil,” kata Nadiem dalam diskusi virtual, Selasa (28/9).
Berdasarkan data Kemendikbudristek, Minggu (26/9), terdapat 537.302 satuan pendidikan jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), SD, SMP, SMA/SMK, madrasah dan pendidikan non-formal.
Sebanyak 72,21 persen atau 156.599 satuan pendidikan masih belajar dari rumah. Sedangkan PTM terbatas sudah dilaksanakan di 60.257 satuan pendidikan (27,79 persen), serta yang belum menjawab 59,64 persen atau 320.446 satuan pendidikan.
Nadiem berpandangan anak-anak sebaiknya mulai melakukan belajar tatap muka agar tidak semakin tertinggal.
Dia menyebut anak-anak Indonesia sudah sangat terancam ketinggalan pelajaran dan kesehatan mental karena selama 1,5 tahun terakhir belajar online.
”Jadinya kalau kita enggak mau semakin ketinggalan lagi, ya anak-anak harus selalu tatap muka dengan protokol kesehatan yang teraman, yang bisa kita lakukan di masing-masing daerah,” tuturnya.
Menurut Nadiem pandemi Covid-19 telah memperbesar ketimpangan di dunia pendidikan. “Sebelum pandemi pun kita sudah sebenarnya ketinggalan dari angka PISA (Programme for International Student Assessment) kita dibandingkan dengan negara-negara lain,” ucapnya.
Ketertinggalan tersebut menurutnya semakin terjadi di masa pandemi saat kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring.
”Pada saat pandemi kita melihat ini kondisi memperburuk terutama untuk daerah-daerah di mana tingkat sosial ekonomi itu masih rendah,” ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama Nadiem mengungkapkan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pandemi tidak hanya berdampak pada ketertinggalan atau learning loss. Ia mengatakan, PJJ jangka panjang saat pandemi dapat menyebabkan anak merasa kesepian dan trauma secara emosional.
"Banyak anak-anak kita yang kesepian, banyak anak-anak kita yang secara emosional trauma dengan situasi ini," kata Nadiem. "Orang tua juga stres di rumah dan menyebabkan berbagai macam isu dan tension antara orang tua dan anak-anaknya," imbuhnya.
Rasa kesepian dan traumatik pada anak menjadi salah satu persoalan psikologis yang disoroti Nadiem. Ia mengaku mengkhawatirkan masalah tersebut. Sebab, kondisi psikologis itu merupakan bagian kemampuan anak-anak untuk bersikap terbuka terhadap pembelajaran.
Keadaan emosional dan psikologis, kata Nadiem, memang dua hal yang berbeda. Namun demikian, dalam diri anak-anak dua hal itu saling berkaitan. "Jadi ini merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan," tuturnya.
Rela Dikritik
Nadiem Makarim mengaku, dirinya rela dikritik atas kebijakan terkait penutupan dan pembukaan sekolah pada masa pandemi Covid-19. Menurut dia, dirinya kerap dikritik saat membuat kebijakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) ataupun saat mendorong kebijakan pembelajaran tatap muka (PTM).
“Enggak apa-apa kalau saya sedikit dikritik-kritik atau apa-apa. Tutup sekolah kan saya disalahkan, sekarang buka sekolah saya disalahkan, enggak apa-apa, sudah biasa. Namanya pengorbananlah,” kata Nadiem di Talkshow – Bangkit Bareng yang disiarkan di YouTube, Selasa (28/9).
Menurut Nadiem, saat ini ada 80 hingga 85 persen masyarakat yang mendukung kebijakan PTM di sekolah. Hal tersebut yang kemudian menjadi pegangannya dalam mendorong kebijakan PTM terbatas.
“Mayoritas 80 sampai 85 persen dari masyarakat kita menginginkan kita kembali tatap muka. Itu jadi pegangan saya, saya di sisi orangtua dan murid-murid kita,” ucap dia.
Selain itu, Nadiem mengatakan, sebelum varian Delta virus corona menyebar di Indonesia, banyak sekolah yang juga sudah mulai menerapkan PTM terbatas. Saat itu, menurutnya, pelaksanaan PTM terbatas di masa pandemi sudah dilakukan di 30 persen sekolah.
“Jadi ini orang-orang tuh suka lupa gitu loh, suka lupa bahwa ini sudah kita laksanakan sebelumnya,” ujar Nadiem.
Lebih lanjut, Nadiem mengungkapkan kekhawatiran terbesarnya apabila PJJ terus dilakukan, mulai dari learning loss hingga dampak psikis yang bisa menerima peserta didik. “Tapi, yang lebih menyeramkan lagi buat saya adalah dampak permanen daripada PJJ. Ini yang saya wanti-wanti setiap kepala daerah, setiap pemerintah daerah,” ungkapnya.
Nadiem juga menyorot dampak PJJ terhadap anak-anak di jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) serta sekolah dasar (SD). Menurut dia, anak pada kelompok sekolah itu berpotensi terdampak lebih permanen.
Maka dari itu, Nadiem menilai wacana pelaksanaan PTM harus dilakukan setelah semua warga sekolah divaksinasi Covid-19. “Bagaimana yang mayoritas murid kita di bawah umur 12 tidak bisa divaksin dan merekalah yang paling punya risiko terbesar untuk pelaksanaan PJJ. Jadi ini harus dimengerti,” tegasnya.(tribun network/kps/fah/dod/cep)
Baca juga: Prediksi Bhayangkara FC Vs Persik Kediri BRI Liga 1 2021, H2H, Susunan Pemain, Link Live Streaming
Baca juga: Chord Kunci Gitar Beautiful In White Shane Filan
Baca juga: Satu Tahun Paska Kebakaran Pasar Wage, Pedagang Masih Tempati Lahan Parkir
Baca juga: Tak Kuat Menanjak, Truk Pengangkut Bahan Tripleks Terguling di Pengadegan Purbalingga