FOKUS
FOKUS : Ironi Menyikapi Perubahan Iklim
Belakangan di dalam rumah atau bahkan di luar ruangan, apalagi di jalan, kita merasakan tubuh kita mudah berkeringat.
Penulis: rustam aji | Editor: Catur waskito Edy
Oleh Rustam AJi
Wartawan Tribun Jateng
BUMI kian panas. Ya, itu fakta yang tak terbantahkan. Belakangan di dalam rumah atau bahkan di luar ruangan, apalagi di jalan, kita merasakan tubuh kita mudah berkeringat. Cuaca ekstrem. Itu tak lain karena memang kondisi panas bumi yang kian mengkhawatirkan. Bila tak tertangani dengan cepat, maka tak mustahil bumi juga akan cepat musnah.
Hal itu bukan tanpa alasan, bumi kita sudah semakin panas. Suhu bumi meningkat 2,5 derajat Celcius dan diprediksi pada 2100 akan meningkat menjadi 4,7 derajat Celcius akibat peningkatan gas rumah kaca.
Dampak itu sudah dirasakan sejak 2015 lalu ditandai dengan gempa di Nepal, di mana salju di gunung tertinggi dunia, Everest, mudah mencair. Lapisan es purba yang awalnya tebal, kini kian tipis, sangat berbahaya untuk dijejak ribuan pendaki di Everest yang ramai datang setiap musim semi.
Jika tak ada pencegahan, kemungkinan Gunung Everest dan gunung-gunung es lainnya di dunia tak hanya semakin berbahaya untuk didaki, tapi kemungkinan juga punah.
Para ahli yang bekerja untuk PBB telah mempelajari rencana penanganan persoalan iklim dari lebih 100 negara, termasuk Indonesia, yang mereka sebut tidak meningkatkan target mengurangi emisi karbon sejak tahun 2015.
Para pakar di PBB menyimpulkan bahwa kita sedang menuju ke arah yang salah.
Para ilmuwan baru-baru ini menyatakan, untuk menghindari dampak terburuk dari peningkatan suhu, emisi karbon global perlu dikurangi hingga 45% pada tahun 2030. Namun analisis ini menunjukkan bahwa emisi karbon justru akan meningkat sebesar 16% selama periode tersebut.
Situasi itu pada akhirnya dapat menyebabkan kenaikan suhu hingga 2,7 derajat Celsius di atas masa pra-industri. Ini jauh di atas batas yang ditetapkan oleh komunitas internasional.
Karena itu, tak berlebihan bila KTT PBB soal perubahan iklim (COP26) di Glasgow, beberapa waktu lalu, seolah menjadi momentum bagi negara-negara di dunia untuk berkomitmen menangani perubahan iklim global dengan mengurangi emisi karbon.
Indonesia pun tak mau ketinggalan. Dalam pidatonya, Jokowi memamerkan Indonesia tengah mulai membangun ekosistem mobil listrik, pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, hingga pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk bio fuel.
Indonesia, kata Jokowi, juga tengah berfokus pada pengembangan industri berbasis clean energi, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia yang berada di Kalimantan Utara.
Hanya saja pernyataan Jokowi tersebut masih perlu diuji berdasarkan fakta kebutuhan energi di Indonesia yang masih bergantung pada batu bara dan minyak. Pada sebuah diskusi forum Pemred dengan Pertamina di Semarang belum lama ini, narasumber Komaidi Notonegoro (Direktur Eksekutif ReforMiner Institute) menyatakan bahwa bila Indonesia tak mampu menemukan cadangan energi, maka cadangan minyak yang ada hanya akan mampu bertahan hingga 11 tahun ke depan, cadangan gas hanya mampu bertahan 45 tahun, dan batu bara hanya bisa sampai 65-70 tahun yang akan datang.
Tak berlebihan bila kemudian Indonesia menjadi salah satu negara dari 196 negara yang menandatangani Paris Agreement. Perjanjian ini merupakan bentuk komitmen dunia dalam memperkuat penanganan global terhadap ancaman perubahan iklim. Artinya, sektor-sektor usaha mau tidak mau harus memanfaatkan energi baru dan terbarukan (EBT).