Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Fokus

Fokus : Semeru Mengajarkan Pentingnya Edukasi Mitigasi

Desember kembali memberi cerita kelabu bagi warga Indonesia. Erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (4/12) sore, menelan korban jiwa.

Penulis: rika irawati | Editor: Catur waskito Edy
tribunjateng/grafis bram
Wartawan Tribun Jateng, Rika Irawati 

Oleh Rika Irawati
Wartawan Tribun Jateng

Desember kembali memberi cerita kelabu bagi warga Indonesia. Erupsi Gunung Semeru di Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (4/12) sore, menelan korban jiwa.

Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Minggu (5/12/) malam, korban tewas mencapai 14 orang.

Sementara, korban luka tercatat 56 orang. Terdiri dari 35 orang mengalami luka berat dan 21 orang mengalami luka ringan. Mayoritas mengalami luka bakar.

Sembilan orang lain masih didata statusnya, apakah hilang atau meninggal. N

amun, jumlah ini dimungkinkan bertambah lantaran banyak warga di Lumajang melaporkan belum dapat menghubungi atau bertemu anggota keluarga.

Banyak dari warga yang meningal dan mengalami luka bakar ditemukan di reruntuhan bangunan atau dekat aliran sungai yang dilintasi lahar Semeru.

Memang, saat erupsi besar terjadi, warga masih berada di rumah masing-masing. Bahkan, beraktivitas di penambangan galian C di aliran sungai.

Ini dimungkinkan terjadi lantaran tidak ada alat deteksi dini atau early warning system (EWS) yang terpasang di daerah terdekat Gunung Semeru, terutama di Desa Curah Kobokan. Hal ini disampaikan Kepala Bidang Kedaruratan dan Rekonstruksi BPBD Lumajang Joko Sambang, dikutip dari Suryamalang.com, Minggu.

"Alarm (EWS) gak ada, hanya sismometer di daerah Dusun Kamar A. Itu untuk memantau pergerakan air dari atas agar bisa disampaikan ke penambang di bawah," kata Joko.

Sebelum bencana terjadi, alat seismoter itu membaca getaran kenaikan debit air mencapai 24 amak. Namun, tanda ini tak direspon warga dengan segera mengungsi atau meninggalkan daerah rawan karena tak ada tanda gempa besar atau gemuruh seperti yang biasa menandai erupsi.

Bahkan, menurut Joko, saat Gunung Semeru memuntahkan lava dan guguran awan panas, warga malah berlari ke sungai untuk menyaksikan dan mengambil video. Joko mengatakan, hal ini lumrah dilakukan warga sejak Semeru bergejolak, setahun lalu.

Tentu, kondisi ini cukup memprihatinkan. Berkurangnya kewaspadaan warga di daerah rawan bencana berpotensi meningkatkan risiko korban jiwa.

Belum lagi, kebiasaan warga 'berwisata bencana' atau berbondong-bondong datang ke lokasi bencana 'hanya' untuk menyaksikan atau melaporkan secara langsung di media sosial masing-masing.

Kebiasaan yang mulai berkembang sejak era media sosial booming ini tak hanya membahayakan mereka tetapi sering kali mengganggu proses evakuasi. Mengganggu kerja petugas yang berkompeten menangani.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved