Berita Semarang
Sekolah Semarang Belum Ramah Bagi ADHA, Oknum Guru Masih Lakukan Stigma dan Diskriminasi
Anan memilih bermain perosotan anak daripada menyentuh buku tematik tumbuh-tumbuhan.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: sujarwo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Siang itu, Anan (8) enggan belajar. Ia memilih bermain perosotan anak daripada menyentuh buku tematik tumbuh-tumbuhan yang berada di atas meja belajarnya.
Meski usia sudah 8 tahun, ia belum
bersekolah. Kondisinya sebagai anak dengan HIV AIDS (ADHA) menghambat ia memperoleh pendidikan.
Kondisi Anan kini jauh lebih baik, orangtuanya adalah orang dengan HIV AIDS (ODHA). Ayahnya hanya penjual siomay, ibunya hanya pedagang kecil di pasar, di Kabupaten Tegal sana.
Anan terpaksa harus berjauhan dengan orangtuanya, ia ditampung rumah singgah AIRA pada 9 Oktober 2021 untuk proses penyembuhan.
Rumah singgah Aira adalah rumah singgah yang dikhususkan bagi para penderita HIV AIDS. Rumah Aira saat ini menampung lima orang terdiri dari tiga orang dengan HIV AIDS (ODHA) dan dua anak dengan HIV AIDS (ADHA), termasuk Anan.
Total ada 30 orang ODHA yang telah ditampung oleh rumah AIRA namun sebagian besar dari mereka telah kembali ke keluarga masing-masing.
Puluhan ODHA itu berasal dari berbagai daerah di Jateng seperti Jepara, Kabupaten Tegal dan lainnya.
Kembali ke Anan, awal ia tiba di rumah AIRA, Kondisinya ketika itu memprihatinkan, kakinya tak bisa jalan, mulutnya penuh sariawan dan kondisi lemah.
Melihat hal itu, pengasuh Rumah AIRA segera mengevakuasi Anan ke rumah sakit di Kota Semarang seizin dari kedua orangtuanya dan Dinas Sosial setempat.
Anan dirawat selama lima hari di rumah sakit sebelum dinyatakan sembuh.
Ia kini seperti anak lain pada umumnya, ia ingin bersekolah.
Sayangnya, lembaga pendidikan di Kota Semarang belum ramah terhadap para ADHA.
"Iya masih ada stigma dan diskriminasi yang didapatkan oleh para ADHA di Kota Semarang," ucap pendiri dan pengelola rumah singgah AIRA, Maria Magdalena kepada Tribunjateng.com.
Mirisnya, orang yang melakukan diskriminasi terhadap ADHA adalah guru.
"Iya diskriminasi itu dilakukan seorang guru. Meski diskriminasi tersebut dilakukan di luar lingkungan sekolah," papar Magdalena.
Ternyata situasi tersebut tak hanya di Ibu Kota Jawa Tengah, di berbagai daerah juga terjadi hal yang serupa.
Terbaru, Magdalena masih berupaya menyelesaikan persoalan stigma dan diskriminasi yang dialami oleh ADHA yang melibatkan seorang guru.
Kasus itu berupa seorang guru telah membully ADHA sekaligus melarang ADHA agar tak perlu sekolah.
Ia tak mau menyebut kasus itu terjadi di daerah mana, yang jelas di sebuah Kabupaten di Jawa Tengah.
"Ya waktu dekat akan kami coba selesaikan kasus itu. Rencana kami tempuh secara kekeluargaan," ungkapnya.
Melihat kondisi ADHA yang masih memperoleh stigma dan diskriminasi, Ia harus berpikir dua kali saat hendaknya menyekolahkan ADHA di lembaga pendidikan formal.
Setiap akan menyekolahkan ADHA beragam hal harus dipertimbangkan olehnya.
Di antaranya harus mengenali terlebih dahulu sosok guru, kepala sekolah, ketua Yayasan, hingga wali muridnya.
"Kami harus kenal dulu terhadap warga sekolah tujuannya untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi," katanya.
Mangdalena tak tahu entah sampai kapan akan bersikap seperti itu setiap kali hendak menyekolahkan ADHA.
Ia berharap, guru saat ini lebih memahami soal HIV AIDS terlebih dahulu.
Sebab, sewaktu guru telah memahami secara menyeluruh apa itu HIV maka tak ada rasa takut terhadap ADHA.
Semisal ADHA jatuh saat bermain di sekolah hingga mengeluarkan darah. Bagi guru yang paham tetap mau menolong tanpa rasa takut sebab tahu seluk beluk penularan HIV.
Yang mana sejauh penolong tak memiliki luka terbuka saat menangani ADHA yang memiliki luka berdarah maka tak akan ketularan.
"Saya hidup bertahun-tahun hidup satu rumah dengan penderita HIV namun saya tidak tertular karena saya tahu apa itu HIV dan cara penularannya," katanya.
Di sisi lain, selama ini biaya hidup termasuk pembiayaan pendidikan para ADHA dibantu oleh para donatur.
"Dana semua dari pribadi dan donatur. Tak ada dana dari pemerintah sama sekali, tapi kami tetap memberikan yang terbaik bagi para penderita B20 terutama soal pendidikan dan akses kesehatan," ujarnya.
Sementara itu, perwakilan IRIS Collective dan anggota Koalisi AIDS Kota Semarang, Amanda Aulia Cindy membenarkan, bahwa di Kota Semarang masih ada stigma dan diskriminasi terhadap ADHA.
Sebab,pihaknya pernah menangani satu kasus pelajar dikeluarkan dari sekolahnya lantaran kedapatan membawa obat antiretroviral (ARV) yang mana obat ini sangat penting bagi para ADHA.
"Kejadian tersebut di sebuah sekolah di Kota Semarang pada tiga tahun silam," terangnya.
Menurutnya, kejadian stigma dan diskriminasi bagi para penderita HIV merupakan cerita lama. Hal itu terjadi lantaran kurangnya pengetahuan di masyarakat.
"Penularan HIV tak segampang yang orang bayangkan. Ini menjadi problem di masyarakat terutama bagi para ADHA yang banyak berinteraksi dengan banyak orang. Fenomena ini makin dilanggengkan dengan kurangnya pendidikan kesehatan reproduksi (kespro) sejak usia dini," terangnya saat dihubungi Tribunjateng.com, Senin (6/12/2021).
Ia menyebut, kondisi sekolah di Kota Semarang yang masih memberikan diskriminasi dan stigma bagi ADHA dapat diubah dengan melatih tenaga pendidik sekaligus memberikan pendidikan kespro sejak dini.
"Dalam edukasi tersebut dapat disisipkan soal HIV AIDS terutama yang paling penting adalah cara penularannya," ujarnya.
Ia menambahkan, tenaga pendidik dan warga di lingkungan sekolah perlu mengetahui seluk beluk HIV AIDS secara kompeherensif sehingga tak ada lagi stigma negatif.
"Sekolah harus lebih inklusif menerima ADHA di lingkungan pendidikan sebagai hak dasar mereka," bebernya.
Terpisah,Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Kota Semarang Gunawan Satpogiri menyebut, setiap sekolah di bawah nauangnya menerima ADHA untuk bersekolah atas rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kota Semarang.
"Pada prinsipnya kami tak menolak ADHA. Tentunya atas sesuai rekomendasi dari Dinkes sebab kami awam soal medis," paparnya saat dihubungi Tribunjateng.com.
Disdik Kota Semarang sejauh ini tak memiliki data berapa jumlah ADHA yang bersekolah di lembaga pendidikan naungan Pemkot.
Akan tetapi ia mengakui memang beberapa sekolah di Kota Semarang terdapat para ADHA.
Ketika disinggung terkait adanya stigma dan diskriminasi, Gunawan mengaku, pihaknya selalu memperlakukan ADHA di sekolah dengan baik.
Pihaknya bahkan telah melakukan sosialisasi ke beberapa sekolah terkait materi HIV AIDS.
Sosialisasi menyasar warga sekolah dengan narasumber melibatkan Dinkes, Disdik dan lainnya.
"Sosialisasi tersebut rutin dilakukan setiap tahun. Tak hanya ADHA, anak berkebutuhan khusus pun kami perlakukan dengan baik," tandasnya.
Tribunjateng.com telah mengkonfirmasi ke Ketua Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jateng, Taj Yasin untuk meminta konfirmasi masih adanya stigma dan diskriminasi bagi ADHA di Jateng, Senin (6/12/2021).
Namun tak ada jawaban dari Wakil Gubernur Jateng itu hingga berita ini diturunkan. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/anak-hiv-tengah-belajar1.jpg)