Berita Semarang
Gagas Program Pluralisme Trail, EIN Institute Kenalkan Toleransi Keberagaman bagi Generasi Muda
Esa Insan Indonesia (EIN) Institute Kota Semarang terus bekerja keras mengenalkan keberagaman kepada anak-anak hingga para anak muda.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: moh anhar
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Esa Insan Indonesia (EIN) Institute Kota Semarang terus bekerja keras mengenalkan keberagaman kepada anak-anak hingga para anak muda.
Mereka memiliki beragam kegiatan menarik mengenalkan toleransi dan pluralisme.
Lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut didirikan seorang pendeta sahabat Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Tjahjadi Nugroho.
Direktur Eksekutif Esa Insan Indonesia (EIN) Institute Kota Semarang Ellen Nugroho (42) mengatakan,untuk mewujudkan kedamaian antar umat beragama pendidikan toleransi saja tidak cukup.
Lebih dari itu, generasi muda juga harus memahami makna pluralisme.
Baca juga: Angkat Story Telling Lewat Boneka Tali, Media Belajar Pembentuk Lifeskill Bagi Anak-Anak
Baca juga: Video Disperindag Jateng Ajak Pengusaha Bisa Buka Jalan Ekspor
Baginya, toleransi dan pluralisme ini berbeda.
Toleransi sebatas hidup bersama walaupun berbeda atau hidup berdampingan walau tidak mengenal.
"Sedangkan pluralisme hidup bersama dan saling mengenal satu sama lain," imbuhnya, Rabu (8/12/2021).
Ia menjelaskan, pluralisme memiliki makna lebih dalam.
Bukan berarti semua sama saja tapi ada upaya untuk saling mengenal lebih dalam dan jika ada perbedaan perlu diakui.
Perempuan pegiat toleransi dan keberagaman itu, bekerja kerasa memahamkan anak-anak muda tentang dua hal tersebut melalui berbagai kegiatan.
Tidak sekadar melalui teori, Ia menunjukkan bahwa menerima perbedaan adalah bagian dari realitas.
"Kami kenalkan pluralisme secara praktis dengan melihat langsung di lapangan," bebernya.
Program kegiatan yang digelar EIN Institute itu antara lain, Pluralisme Trail yang mengajak jalan-jalan anak muda usia mahasiswa dari berbagai latar belakang ke suatu tempat dimana di sana ada teladan pluralisme.
Mereka di sana bertemu dengan wajah-wajah yang berbeda tapi terjadi pembauran dengan hidup berdampingan secara damai.
"Jadi tidak hanya belajar secara teoritis, tapi secara praktis langsung belajar dengan mengunjungi tokoh keberagaman dan datang ke situs-situs atau tempat yang terjadi interaksi pembauran," papar Ellen.
Kemudian, juga ada program Semai atau Anak Semarang Damai. Kegiatan ini melibatkan anak-anak usia kelas 4 sampai 6 SD dari berbagai agama dan mereka dikumpulkan untuk belajar agama tertentu.
Terutama agama yang jarang diekspos.
Mereka diajak berkunjung ke kelenteng, pura, hingga vihara.
Dalam kegiatan tersebut mereka baru tahu kalau ada agama yang selama ini menjadi sasaran prasangka.
Misalnya, di kelenteng ada yang bilang tempatnya setan karena ada patung bermuka hitam itu setan.
Setelah datang kesana diberi tahu sehingga menjadi paham.
"Dari kegiatan ini mereka jadi punya pengalaman berjumpa dengan perbedaan sehingga setelah besar tidak kaget lagi," ujarnya.
Berikutnya, program Belajar Kota Tua di Semarang, pada kegiatan ini generasi muda diajak mengenal Kota Semarang yang memiliki riwayat keberagaman yang panjang.
Misal, Kota Lama yang mempunyai wajah Eropa, Pecinan yang sangat kental dengan budaya Tionghoa, dan Pekojan, Kampung Melayu serta Kauman yang kuat dengan tradisi Arab.
Kegiatan dan program yang terus berjalan itu merupakan ikhtiar untuk melestarikan pemikiran dua sahabat, yakni Gus Dur dan Tjahjadi Utomo yang meyakini semua manusia itu bersaudara.
"Maka setiap masalah di masyarakat tak bisa diselesaikan melalui solusi-solusi superfisial," kata ibu tiga anak ini.
Ia mengatakan, dibutuhkan kajian mendalam untuk membongkar akar permasalahan, serta edukasi efektif untuk masyarakat agar tercipta situasi ideal yaitu keadilan sosial.
Dari beragam kegiatannya, ia pernah mendapat umpan balik (feedback) dari salah satu peserta Pluralism Trail.
Di antaranya, peserta dari seorang Tionghoa beragama Budha berasal dari Medan dan sedang kuliah di Bandung.
Dia menceritakan bahwa selama ini hidup keluarganya di Medan tersekat dengan kelompok lain dan takut dengan agama mayoritas.
Ada stereotip mereka berbahaya sehingga keluarganya pun jadi takut bermasyarakat.
Kemudian, dia pindah ke Bandung dan menyadari di sana sangat plural.
Namun, dia kembali takut ketika di Jakarta ada keributan terkait kasus Ahok.
Dia pun sempat putus asa apa bisa hidup damai berdampingan di Indonesia.
"Dia ikut Plural Trail di Lasem, berkumpul dengan teman dari berbagai latar belakang, melakukan diskusi dan dia pun merasa dari kegiatan itu ketakutannya terpulihkan," ungkap Ellen.
Praktisi pendidikan berbasis keluarga atau homeschooling ini menuturkan, membumikan pluralisme melalui edukasi ke anak muda tentang keberagaman ini harus terus dilanggengkan.
Sebab, pluralisme teoritis sudah banyak, maka pembelajaran secara praktis perlu dibumikan agar lebih populer.
"Kami lantas membuat kesan keberagaman dikemas lebih populer dan gaul, jadi tidak terkesan akademis sekali," ujarnya.
Sebelumnya, Ellen mengalami pengalaman panjang dalam membumikan keberagaman.
Ia pemeluk agama Kristen dan berasal dari keluarga yang religius ini mempunyai tradisi berdiskusi yang kuat.
Ia bertemu bermacam-macam orang dengan latar belakang berbeda sejak duduk di bangku kuliah di Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.
Ia saat ketemu teman yang berbeda banyak terlibat diskusi dan dengan berdiskusi menjadi kaya wawasan.
Sehingga, keberagaman ini baginya memperkaya bukan berbahaya.
Meskipun dogma dan ajaran berbeda tetapi pengalaman keimanan ada benang merah yang sama.
Yakni, sama-sama ingin bertumbuh secara spiritual mengabdikan diri pada suatu agama.
"Namun, dari situ yang saya lihat bukan bajunya tapi esensi dari agama tersebut," jelasnya.
Seiring waktu, Ellen pun semakin sadar bahwa curiga pada beda agama itu karena faktor ketidaktahuan, politis, dan ekonomi.
Sebenarnya ketika bercampur aduk dengan itu tercipta banyak masalah.
Menurutnya, sepanjang mampu membuat jernih mana yang sebenarnya esensi keagamaan dan temporer politik atau ekonomi akan jauh lebih bisa bersikap adil.
"Saya berpesan kepada generasi muda Milenial dan Gen Z mainlah yang jauh, " terang lulusan Magister Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.
Ia menjelaskan, kalau hanya berkumpul dengan orang yang terus menerus homogen dan tidak pernah keluar dari lingkungan masa kecilnya, dalam arti sama agamanya, budayanya, dan bahasanya, maka itu bisa menganggap seluruh dunia sama sepertinya.
Hal itu berbeda dengan orang yang banyak dolan dan berpetualang.
Baca juga: Detik-detik Penemuan Mayat Suami Istri Korban Erupsi Gunung Semeru, Keberadaan Anak Masih Misterius
Baca juga: Angkat Story Telling Lewat Boneka Tali, Media Belajar Pembentuk Lifeskill Bagi Anak-Anak
Ia akan bertemu dengan keberagaman dan memiliki wawasan luas sekaligus mengenal perbedaan.
Cara ini malah justru memantik memapankan dan mengkokohkan identitas diri sendiri.
"Selain itu, bertemu dengan orang berbeda akan merefleksi diri kita sendiri, apa yang saya yakini apa yang diyakininya. Kalau kita main jauh punya banyak teman maka identitas kita pun akan semakin kuat," tandasnya. (*)