Penyebaran Cepat Omicron Berpotensi Membebani RS
negara-negara yang menghadapi gelombang yang dipicu varian Omicron, sejumlah besar kasus akan menyebabkan sistem perawatan kesehatan ambruk.
TRIBUNJATENG.COM - Keputusan badan kesehatan nasional Amerika Serikat (AS) memangkas waktu isolasi bagi orang-orang yang terinfeksi covid-19 tanpa gejala memicu kekhawatiran di antara para ilmuwan.
Keputusan itu dinilai berpotensi meningkatkan penyebaran virus corona dan membebani rumah sakit (RS).
Pada Senin (27/12) lalu, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit AS (CDC) mengatakan, orang dengan covid-19 tanpa gejala hanya perlu diisolasi selama 5 hari dan tidak memerlukan tes PCR negatif atau tes antigen cepat.
Setelah isolasi, mereka diwajibkan memakai masker selama 5 hari di sekitar orang lain. Aturan yang sama akan berlaku untuk orang-orang yang mempunyai gejala dan sembuh setelah lima hari dalam isolasi.
Zoe Hyde, seorang ahli epidemiologi di University of Western Australia, mengatakan kepada DW, mempersingkat periode isolasi masuk akal dan dapat diterima dengan alasan virus paling berisiko menular dalam beberapa hari pertama, tetapi ini bisa dilakukan hanya jika ada tes negatif.
"Saya pikir itu ide yang sangat buruk untuk menghilangkan kebutuhan tes negatif, karena itu akan menyebabkan banyak orang menyebarkan virus di masyarakat," katanya.
"Itu juga mengirimkan pesan yang salah tentang seberapa parah virus itu. Ini mungkin tidak terlalu menjadi masalah bagi orang tanpa gejala yang diizinkan meninggalkan karantina, tetapi itu bisa menghancurkan orang-orang yang rentan di komunitas yang kontak dengan mereka," tutur Hyde.
Para ilmuwan khawatir keputusan untuk mengurangi separuh waktu isolasi untuk pasien tanpa gejala bukan didorong oleh argumentasi kesehatan masyarakat.
"Ini jelas bukan pedoman kesehatan masyarakat, ini lebih ke arah (perlu) untuk memastikan bahwa kita dapat menjaga segala sesuatunya berjalan cukup banyak, jadi ini lebih merupakan pedoman ekonomi," kata Tobias Kurth, profesor kesehatan masyarakat dan epidemiologi di RS Charitas Berlin.
"Di beberapa daerah, mungkin perlu untuk sedikit melonggarkan aturan, tetapi bukan sebagai rekomendasi umum," tambahnya.
Hyde juga mengemukakan pendapat senada Kurth. "Saya khawatir bahwa politiklah yang mendorong keputusan ini, bukan sains."
Ahli epidemiologi molekuler di Universitas Bern di Swiss, Emma Hodcroft mengatakan solusi nyata untuk kekurangan staf di tempat kerja adalah dengan menurunkan jumlah kasus.
"Dengan mengizinkan mereka yang masih bisa menularkan (virus) kembali ke lingkungan kerja, Anda dapat mengaktifkan penularan, membiarkan lebih banyak orang terinfeksi, dan berpotensi melanggengkan masalah," tegasnya.
Kekhawatiran lain adalah bagaimana rumah sakit akan mengurus pasien, jika tingkat infeksi meningkat lebih tinggi, sebagai akibat dari orang tanpa gejala yang tidak diisolasi cukup lama dan tes negatif tidak diperlukan.
Kurth memperingatkan, di negara-negara yang menghadapi gelombang yang dipicu oleh varian Omicron, seperti Inggris, Prancis, AS, dan Jerman, sejumlah besar kasus akan menyebabkan sistem perawatan kesehatan ambruk.
"Ini sepertinya saat yang buruk untuk melonggarkan pembatasan di saat varian Omicron menyebar begitu cepat, saya tidak bisa melihat bagaimana sistem rumah sakit akan mengatasi ini," ucap Hyde. (Tribunnews)