Abdul Kholik Tawarkan Arah Baru Perekonomian Jateng Berbasis Kawasan
Abdul Kholik menuturkan, ada urgensi pendekatan baru dalam membangun Jateng, khususnya di sektor ekonomi.
Penulis: mamdukh adi priyanto | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM,SEMARANG - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari Daerah Pemilihan Jateng, Abdul Kholik menuturkan, ada urgensi pendekatan baru dalam membangun Jateng, khususnya di sektor ekonomi.
Menurutnya, untuk menciptakan keseimbangan dan pemerataan pembangunan, Jateng membutuhkan poros ekonomi tambahan sebagai pusat pertumbuhan.
"Identifikasi permasalahan yang ada, antara lain tekanan pandemi, perubahan demografi di Jateng yang sangat besar, pengangguran cukup tinggi, kemiskinan yang juga cukup tinggi. Poros utara maju, sementara poros lain tertinggal," kata Abdul Kholik saat FGD terkait outlook perekonomian Jateng 2022 di Kantor DPD RI Jateng di Semarang, Kamis (27/1).
Senator perwakilan Jateng ini menawarkan tiga poros ekonomi atau center of group yakni Jateng Utara, Jateng Selatan, dan Jateng Timur. Selama ini hanya Jateng Utara yang mampu tumbuh.
Gagasan ini lahir dari proses pengawasan dirinya yang berlansung selama 2 tahun. Pengawasan dilaksanakan melalui observasi, kunjungan kerja, rapat kerja dengan mitra dan simulasi data. Setidaknya, sebanyak lima kali Abdul Kholik berdiskusi dengan Badan Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia (BI), dan para akademisi.
Dengan adanya tiga poros ekonomi tersebut, diyakini pertumbuhan ekonomi antar-kawasan lebih seimbang. Tentunya, dengan penekanan masing-masing potensi kawasan.
Pada kawasan utara lebih dominan pengembangan industri manufaktur, sementara kawasan timur perpaduan antara manufaktur dan agro industri. Sedangkan kawasan selatan lebih fokus mengembangkan agropolitan dan pariwisata.
"Sepertinya mulai berpikir, kalau dulu kita terlalu globalisasi, saat ini harus berpikir lokal, dengan penguatan potensi lokal, produktifitas lokal ditingkatkan. Daerah mandiri akan lebih baik," ujarnya.
Untuk mendorong perpaduan dalam perencanaan pembangunan ekonomi, perlu diubah mekanisme Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang selama ini berbasis kawasan administratif lama atau eks-karesidenan yang terbagi dalam 8 zona Musrenbang.
Pendekatan yang dilakukan dalam perencanaan pembangunan lebih pada esensial, bukan administratif yang selama ini dijalankan. Sebab model yang lama berpotensi menimbulkan diskonektifitas antar-daerah yang memiliki potensi kuat untuk diintegrasikan.
Ini tentunya perlu ada sinergitas antar-daerah. Sehingga konektivitas tidak terputus. Misalnya, bagaimana wisatawan yang berkunjung ke Borobudur Magelang juga akan berkunjung ke Dieng, Baturraden, dan pantai selatan Jateng, bukan justru ke provinsi lain.
Zona Musrembang cukup tiga, yaitu kawasan utara, selatan, dan timur dengan penekanan potensi dan arah pengembangan kawasan masing-masing.
Hasil FGD akan disampaikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sebagai saran dan masukan untuk pembangunan ekonomi Jateng ke depan. Harapannya agar perekonomian di Jateng lebih akselaratif.
Pemberian rekomendasi ini sejalan tupoksi DPD RI terutama fungsi pengawasan dan pertimbangan anggaran dalam bidang otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, dan pengelolaan sumber daya.
Cenderung Growth Pole
Sementara, Direktur Riset Institute for Development of Economis dan Finance (Indef), Berly Martawardaya menyatakan, pertumbuhan ekonomi di Jateng seiring berjalannya waktu membentuk konsep growth pole atau dikenal sebagai kutub pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi tidak terjadi di secara merata, melainkan di lokasi tertentu. Hal ini menimbulkan kesenjangan daerah yang 'njomplang'. Satu kawasan tumbuh pesat, kawasan lain loyo.
Pada konsep ini diharapkan pembangunan di wilayah pusat atau perkotaan memberikan stimulus dan menyeimbangkan daerah hinterland (satelit atau daerah sekitar perkotaan).
Namun demikian, faktanya tidak seperti yang diharapkan. Spread effect atau efek penyebaran ke daerah hinterland tidak terjadi. Yang terjadi justru backwash effect atau menguntungkan wilayah maju dan menekan kegiatan ekonomi di wilayah terbelakang.
"Melihat data, pertumbuhan ekonomi Jateng masih pola lama (growth pole). Dimana, ada satu kawasan pendorong utama yang diharapkan daerah sekitarnya bisa ikut terdongkrak. Namun faktanya, tidak terkait," kata Berly Martawardaya saat mengikuti FGD.
Hal itu, kata dia, terlihat dari peta kemiskinan di Jateng pada 2020 (dampak pandemi belum begitu parah). Idealnya, pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan setinggi-tingginya, harus pula ikut menghapus dan mengurangi tingkat kemiskinan, ketimpangan atau kesenjangan, dan tingkat pengangguran.
Sejumlah daerah di Jateng berwarna hijau (angka kemiskinan di bawah nasional dan provinsi) antara lain Kota Semarang, Kabupaten Semarang, Salatiga, Jepara, Kudus, Kota Pekalongan, Batang, Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Sukoharjo, dan Solo.
Sementara, beberapa daerah berwarna merah (angka kemiskinan di atas nasional dan provinsi). Di antaranya, Brebes, Pemalang, Banyumas, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Purbalingga, Banjarnegara.
Kota Semarang sebagai kutub pertumbuhan 'menetes' di daerah sekitarnya semisal Kabupaten Semarang dan Salatiga. Namun tidak dengan Demak yang angka kemiskinannya masih di bawah nasional dan provinsi.
"Demak terjepit di antara daerah pusat pertumbuhan ekonomi dengan angka kemiskinan rendah. Demak di tengah-tengah Kota Semarang, Jepara, dan Kudus yang merupakan daerah hijau," ucap Berly yang juga dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI).
Daerah hijau paling banyak terdapat di Jateng bagian utara atau Pantura Jateng. Sementara, kabupaten/kota merah paling banyak ada di Jateng bagian selatan.
Ketimpangan antara daerah utara dan selatan Jateng satu faktornya yakni infrastruktur. Jalan tol Trans Jawa hanya melewati Jateng bagian utara. Karenanya, daerah hijau mayoritas dilewati jalan tol, kecuali Kudus dan Jepara yang merupakan daerah industri.
"Infrastruktur dan akses sangat penting. Dari Jogja-Cilacap waktu tempuhnya lebih lama dari pada Semarang-Jakarta. Apalagi dari Wonogiri-Cilacap yang menempuh waktu lebih dari 6 sampai 7 jam," terangnya.
Infrastruktur, kata dia, mendorong daerah selatan agar lebih baik. Jarak tempuh waktu yang singkat menjad poin penting penghubung daerah Jateng bagian selatan sehingga mampu tumbuh.
Berly menuturkan, pemerintah juga tidak bisa menerapkan konsep balance growth, dimana semua daerah memiliki pertumbuhan seimbang. Ini akan mengeluarkan banyak anggaran atau biaya. Hanya sejumlah negara saja yang menerapkan konsep ini, semisal Luksemburg dan Swiss.
Idealnya, di Jateng menerapkan konsep multiple growth pole. Daerah sebagai poros pertumbuhan (growth pole) ekonomi harus diperbanyak, terutama di Jateng bagian selatan.
"Selama ini Cilacap, sebagai daerah industri, menjadi growth pole di daerah selatan. Namun, tidak akan kuat jika harus 'menggendong' daerah lain di sekitarnya yang segitu banyak dengan angka kemiskinan masih tinggi, sehingga harus dibantu," ujarnya.
Growth point di Cilacap, kata dia, tidak sekuat Solo dan Pekalongan yang merupkan pusat industri tekstil batik. Growth point di daerah lain, misalnya Batang memiliki kawasan industri. Lalu, Tegal memiliki warung makan yang banyak tersebar di perkotaan, uang yang didapat biasanya dikirimkan ke rumah yang ada di Tegal.
Berly menutukan Jateng bagian selatan cocok dengan agropolitan sebagai growth pole. Pemetaan potensi kabupaten dan kota yang ada di Jateng selatan cocok dengan pertanian sekaligus pariwisata alam.
Berdasarkan data di Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah, persentase penduduk miskin pada September 2021 sebesar 11, 25 persen atau sebanyak 3,93 juta jiwa. Angka ini turun 0,54 persen dibandingkan September 2020 yang sebesar 11,84 persen.
Masih data yang sama, tingkat kemiskinan (masih dua digit) terdapat di daerah Barlingmascakeb (Banjarnegara, Purbalingga, Banyumas, Cilacap, Kebumen) yakni 14,6 persen pada 2021.
Kemudian disusul daerah di Bregasmalang (Brebes, Tegal, Slawi, Pemalang) yakni 14,1 persen. Lalu daerah Banglor (Rembang dan Blora) yakni 13,8 persen. Disusul daerah Purwomanggung (Purworejo, Wonosobo, Magelang, Kota Magelang, Temanggung) dengan tingkat kemiskinan 12,7 persen.
Sementara, untuk gini ratio Jateng pada September 2021 sebesar 0,368. Angka ini menurun 0,004 poin dibandingkan gini ratio Maret 2021 (0,372). Jika dibandingkan dengan September 2020 ada kenaikan 0,009 poin (0,359).(mam)