OPINI
OPINI Marjono : Lumpia Intimitas Makanan dan Kebudayaan
ADA tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, antara lain bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, ekonomi
oleh Marjono
Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng
ADA tujuh unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat, antara lain bahasa, pengetahuan, organisasi sosial, peralatan hidup dan teknologi, ekonomi, religi dan kesenian.
Dalam relasi tulisan ini, maka kemudian makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu-jamuan turut menyokong elemen kebudayaan keempat, yakni peralatan dan teknologi.
Makanan dengan simbol dan media pendukungnya seperti sikap (manner), perlengkapan, sajian, komoditi, dan hal lain yang berkaitan, telah menciptakan identitas budaya dalam masyarakat (Ong Hok Ham, 2009).
Makanan tak hanya menjadi pemuas kebutuhan perut saja, tetapi juga sebagai identitas sebuah budaya dari suatu daerah atau negara. Kita dapat mengetahui budaya tertentu hanya dengan mengenali makanan mereka.
Itulah kemudian, kebhinekaan budaya negeri ini menjelma dalam berbagai aras. Cara melihat Indonesia, salah satunya dari kuliner atau makanannya dengan segenap sensasi dan kisahnya.
Kita punya Gudeg Jogja, Rendang Padang, Peuyeum Bandung, Timlo Solo, Pempek Palembang, Soto Betawi, Rujak Cingur Surabaya maupun Lumpia Semarang.
Loenpia atau dieja lun pia diserap dari kata dialek bahasa Cina Hokkian run bing yang kemudian bersinergi dengan bahasa Jawa lum ping (kulit) menjadi lumpia.
Lumpia merupakan spring roll (kue gulung) sehingga dimungkinkan lumpia belum digoreng hanya lumpia basah. Lumpia atau lunpia keduanya benar. Lun atau lum berarti lunak atau lembut, bergantung pada dialek pengucapnya. Pia berarti kue.
Silang Budaya
Lumpia Semarang adalah jajanan olahan yang berasal dari rebung atau tunas bambu muda yang ditambahkan daging, kerap mirip seperti risol.
Adalah Tjoa Thay Joe dan Mbok Wasi, keduanya awalnya kompetitor dagang, kemudian disatukan dalam tresno jalaran soko kulino, cinta tumbuh di hati keduanya.
Akhirnya, sejoli itu memutuskan untuk menikah pada 1870 dan menggeluti kudapan lumpia secara bersama. Pasangan ini dikenal sebagai generasi pertama lumpia Semarang. Inilah romantisme silang budaya di balik lumpia.
Opini DR Edy Purwo Saputro: Indikator Membaik |
![]() |
---|
Opini Henry Casandra: Daftar Pemilih Sebagai Indikator Peningkatan Partisipasi Pemilu 2024 |
![]() |
---|
OPINI Cahyaningtias PA : Meredam Potensi Konflik Data Pemilih Pemilu 2024 antara KPU dan Bawaslu |
![]() |
---|
Opini Prof Dr Ir Saratri Wilonoyudho: Urbanisasi, Kapitalisasi, dan Korupsi |
![]() |
---|
Opini Arif Yudistira: Universalisme Ajaran Ki Hajar Dewantara |
![]() |
---|