OPINI
OPINI : Makna Positif Tradisi Nyadran
SEJAK 4 Maret 2022 lalu, dalam hitungan bulan Jawa, sudah masuk tanggal 1 bulan Ruwah atau Sya’ban 1443 Hijriyah.
Oleh : M. Issamsudin
ASN Pemkota Semarang
SEJAK 4 Maret 2022 lalu, dalam hitungan bulan Jawa, sudah masuk tanggal 1 bulan Ruwah atau Sya’ban 1443 Hijriyah.
Sejak itu pula, tampak ada beberapa kerabat yang sudah lama merantau ke lain daerah, datang ke kampung halamannya.
Kedatangannya karena berniat untuk mengunjungi para sanak kerabat dan minta diantar untuk nyekar (mendatangi makam dan berdoa di makam) para leluhur di kampung halaman yang telah lama ditinggalkannya.
Pada saat yang sama, banyak pula yang menyempatkan diri hadir dalam acara tradisi nyadran di kampung halamannya. Bahkan jauh-jauh hari sudah tanya tentang, kapan hari H tradisi nyadrannya agar bisa mengatur waktu demi bisa hadir saat nyadran.
Sebagai tradisi, nyadran di masyarakat Jawa, bukan sekedar berdoa bersama di pemakaman sanak saudara atau leluhur, para guru dan tetangga yang telah wafat.
Nyadran juga membersihkan makam dan ada pula yang disertai dengan makan bersama di permakaman secara bersama-sama dengan para hadirin yang ada.
Rindu tradisi
Sungguh bahagianya saat nyekar yang waktunya bersamaan dengan pelaksanaan tradisi nyadran. Waktu nyadran biasanya adalah mulai masuk bulan Sya’ban hingga akhir bulan Sya’ban atau sehari sebelum masuk bulan Ramahdan.
Suasana ritual keagamaan dan budaya yang dikemas dalam tradisi nyadran, seolah menjadi suasana reuni dengan sanak saudara, kerabat, teman-teman kecil dan para tetangga yang sudah lama tidak bertemu.
Suasana yang demikian merupakan spirit positif dan bekal untuk meniti jalan kehidupan hari-hari, bulan dan tahun-tahun berikutnya. Terlebih spirit positif untuk memasuki bulan suci Ramadhan tahun ini.
Itu sebabnya, wajar kalau di antara suka citanya dapat ikut serta dalam tradisi nyadran, ada yang merasa sangat menyesal karena telah puluhan tahun tidak mengikuti tradisi nyadran.
Kerinduan pada tradisi nyadran, sebagai tradisi yang berdimensi ibadah, sosial kemasyarakatan dan penghormatan pada leluhur itu sangat beralasan.
Setidaknya akan didapat kepuasan bathin dan spirit dari nyadran untuk menyongsong masa depan yang lebih baik.
Terlontarlah harapan dari alasan itu untuk ikut lagi nyadran saat bulan Ruwah atau Sya’ban menjelang Ramadhan pada tahun berikutnya. Meski jauh, tetap akan diusahakan datang bersama seluruh anggota keluarga.
Makna Positif
Nyadran yang diselenggarakan setiap bulan Ruwah bagi masyarakat, bukanlah sekedar membersihkan makam dan mendo’akan para leluhur atau saudara yang telah wafat saja. nyadran juga menjadi media pembersihan dan penyiapan diri memasuki bulan Ramadhan.
Sebagai bulan yang penuh berkah dan maghfiroh (pengampunan) dari Allah, kedatangannya bulan Ramadhan harus disambut dengan penuh suka cita kedatangannya dengan pensucian lahir bathin. Tidak dapat dimungkiri, tradisi nyadran juga menjadi media saling menyapa dan maaf memaafkan bersama yang otomatis dapat menjadi spirit positif bagi pelakunya.
Di beberapa tempat, nyadran terasa sangat lengkap saat bersama sanak keluarga (dan masyarakat se kampung atau desa) berkumpul di pemakaman, membersihkan kawasan makam, lalu berdo’a bersama di pemakaman mendo’akan para leluhur yang telah wafat. Adapula yang dilanjut dengan bancaan (makan bersama) dan setelah itu saling berkunjung di antara saudara yang lama tidak bertemu.
Unsur bhakti diri pada orang tua, keluarga dan tetangga dekat atau jauh serta masyarakat sekitar, sangat mendominasi di dalam tradisi nyadran. Kesederhanaan dan kebersamaan sangat nampak di dalam tradisi nyadran.
Makan bersama dengan menu yang sederhana dan disajikan di atas tampah beralaskan daun pisang sungguh sangat luar biasa nikmatnya. Semua seolah mengingatkan saat-saat kecil dan indahnya kebersamaan kalau ada bancaan di langgar (mushola), sadranan (nyadran) dan kerja bhakti dengan teman sebaya dan sekampung atau desa.
Tidak berlebihan bila di kalangan orang tua, nyadran dimaknai lebih secara positif di balik maknanya sendiri yang positif. Makna ini harus diakui bersama kebenarannya. Nyadran benar-benar menjadi momen silaturahmi bersama agar tidak sampai kepaten obor (putus hubungan sanak saudara, keluarga, teman dan tetangga karena tidak ada yang mendekatkan atau menyinari persaudaraannya). Juga dengan masyarakat di sekitar pemakaman.
Dari segi yang lebih luas lagi, nyadran menjadi media pengagungan asma (nama) Allah Tuhan Yang Maha Kuasa dan ajaran-ajaran Allah secara bersama-sama sebagai tanggungjawab diri pada Allah.
Jabarannya, semua diingatkan pada adanya tanggungjawab terhadap Allah, sanak saudara, leluhur, masyarakat dan diri sendiri di tengah berbagai kesibukan sehari-hari serta di tempat yang dekat maupun yang jauh.
Semua juga diingatkan akan kebutuhan bathin yang sangat penting artinya. Siapapun yang ingin ikut nyadran, tidak akan dapat ikut serta di dalamnya bila tidak betul-betul menyempatkan dengan perasaan penuh tanggungjawab. Kesibukan dalam hidup adalah tanda adanya kehidupan.
Alangkah lebih baik bila kesibukan dihentikan sejenak untuk nyadran. Kalau tidak, cepat atau lambat penyesalan diri sebagai hamba Allah dan bagian dari leluhur pasti akan muncul. Beruntung bila di instansi tertentu ada cuti nyadran yang memberi kesempatan karyawannya untuk nyadran.
Kebutuhan Rohani
Pemberian cuti ini merupakan wujud penghormatan terhadap tradisi nyadran dan pemberi spirit bagi karyawan lewat cuti nyadran.
Waktu khusus yang diberikan pun tidak singkat, setidaknya dua hari kerja. Di tengah kesibukan dan kompleksitas masalah dalam hidup, nyadran yang diikuti dengan niat tulus ternyata dapat menjadi penyejuk hati, pemuas kebutuhan bathin dan menghormati sesama dengan berbagai kemajemukan yang ada.
Nikmat yang luar biasa itu benar-benar ada dan dapat dijadikan spirit mengarungi kehidupan, menghadapi kembali berbagai kesibukan.
Sangat disayangkan kalau kenikmatan demikian ada tidak ingin meraihnya. Masih ada yang tidak mau ikut atau tidak serius ikut nyadran meski telah diberi cuti nyadran. Soal kesibukan tetap dijadikan alasan. Padahal nyadran tidak setiap hari atau setiap bulan.
Kalau begitu, siapa yang harus melaksanakan dan meneruskan tradisi nyadran? Pertanyaan itulah yang mesti dijawab bersama. Saat semua sibuk dengan urusan masing-masing dan saat banyak yang tidak tinggal di daerah asal dan ada yang tidak peduli dengan budaya nyadran, kekhawatiran pastilah muncul terhadap kelangsungan tradisi nyadran.
Nyadran harus tetap menjadi tradisi dan tidak boleh terhenti. Adanya tradisi nyadran yang sudah dijalankan para leluhur kita dengan demikian sangat positif maknanya. Akan rugi bila tidak ikut serta nyadran. Makin rugi bila sebagai generasi penerus, sampai tidak mampu meneruskannya di masa-masa yang akan datang.
Sebagai tradisi yang baik, tentu nyadran harus didokumentasikan dan dipublikasikan di banyak kesempatan agar dapat menjadi alat penyadar semua orang. Siapa tahu, pempublikasian akan menjadi penjawab rindu dan keinginan yang pernah ikut atau diajak untuk ikut dalam tadisi nyadran. (*)
Baca juga: Anggota DPR Sebut Kemendag seperti Macan Ompong Tak Bisa Atasi Masalah Minyak Goreng
Baca juga: 7 Nama Calon Rektor UGM 2022-2027 Diumumkan Panitia Kerja, Siapa Saja?
Baca juga: Mengontrol Gula Darah hingga Turunkan Kolesterol Jahat, Berikut 4 Manfaat Utama Jahe
Baca juga: Hari Ini MotoGP Mandalika Dimulai, Aleix Espargaro Cemas Suhu Tinggi: Ini Benar-Benar Gila