TADARUS
TADARUS Prof DR Masrukhi : Puisi Akhir Ramadan
“Aku lihat ramadhan dari kejauhan, lalu kusapa ia, "hendak ke mana..?". Dengan lembut ia berkata, "aku harus pergi, mungkin jauh dan sangat lama.
Oleh Prof. DR. Masrukhi, MPd.
Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang
“Aku lihat ramadhan dari kejauhan, lalu kusapa ia, "hendak ke mana..?".
Dengan lembut ia berkata, "aku harus pergi, mungkin jauh dan sangat lama.
Tolong sampaikan pesanku untuk orang mukmin, aku akan pergi, syawwal akan tiba.
Sampaikan salam dan terima kasihku untuknya karena telah menyambutku dengan suka cita, dan melepas kepergianku dengan derai air mata. Kelak akan kusambut ia di surga dari pintu ar rayyan".
Beberapa media sosial mengungkap kesedihan karena Ramadan 1443 H segera berakhir.
Salah satunya adalah ungkapan di atas, yang bentuknya mirip dengan puisi. Kendatipun singkat, isi puisi ini memang sangat menyentuh hati.
Siapa pun kita akan merasa trenyuh membaca kata demi kata yang terangkai dengan indahnya.
Ungkapan puisi di atas menggambarkan keagungan yang ada di bulan Ramadhan. Namanya merupakan salah satu yang disebutkan di dalam Alquran yang di dalamnya diwajibkan untuk melaksanakan puasa sebulan penuh sepanjang Ramadan.
Di dalamnya juga ada lailatul qodar, yang nilai kualitasnya lebih baik dari seribu bulan, atau setara dengan usia manusia saat ini pada umumnya yaitu 83,3 tahun.
Di dalamnya pun terdapat fasilitas dilipatgandakan pahala bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Instrumen-instrumen itulah yang kemudian menjadikan bulan Ramadan dijadikan sebagai madrasah ruhaniah, untuk melatih dan memperbaiki potensi kemanusiaan kita dengan sebaik-baiknya, agar kembali menemukan jati diri kemanusiaannya yang sejati.
Jati diri kemanusiaan yang sejati adalah berupa kedekatan dengan Tuhan, kedekatan dengan manusia, dan kedekatan dengan alam lingkungan. Itulah yang disebut di dalam Al Qur’an Al Kariim sebagai taqwa.
Di akhir Ramadan ini, perlu pula direnungkan secara seksama kalimat terakhir dari ayat yang menerangkan tentang bulan ramadlan.
“Walitukmilul ‘iddata walitukabbirullaha ‘ala ma hadakum wa la’allakum tasykurun” Jika diterjemahkan, cuplikan ayat ini berarti “Dan hendaklah kamu sekalian menyempurnakan bilangan shiyam sebulan penuh, dan mengagungkan asma Allah sesuai dengan petunjukNya, mudah-mudahan kamu sekalian bersyukur” (QS, 2:184).
Oleh Allah kita diperintahkan untuk menggenapkan bilangan puasa sebulan penuh lamanya, tanpa ada satu pun yang tertinggal, untuk kemudian bertakbir kepada Allah, mengagungkan namanya.
Oleh karena itulah, ketika matahari Ramadan tenggelan di hari terakhir, disunnahkan untuk melafadzkan takbiran, sebagai ekspresi syukur setelah berpuasa sebulan lamanya dengan mengumandangkan “Allahu Akbar, Laa ilaaha Illallah Allahu Akbar, Walillahil khamdu”.
Mengumandangkan takbir di malam Iedul Fitri ini disunnahkan, sejak matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan semalam suntuk sampai salat Ied Fitri akan segera dimulai.
Saat itu seluruh angkasa kehidupan ini terisi dengan gemuruh kumandang takbir, tahlil, dan tahmid, dari seluruh penjuru, dari pelosok pedesaan sampai di keramaian perkotaan.
Di malam takbiran itulah banyak di antara kita yang melafalkannya sambil meneteskan air mata, teringat akan kebesaran Allah, teringat akan orang tua, teringat akan keluarga handai tolan, dan sahabat terbaiknya.
Bertakbir
Takbir berarti membesarkan Allah, dan pada saat yang sama mengecilkan diri kita, mengecilkan ego kita, kepentingan kita, dan urusan kita.
Orang yang tidak mau bertakbir kepada Allah berarti dia menyandang predikat sebagai takabbur, yang berarti sombong.
Menurut Imam Ja’far, kemahabesaran Allah tidak bisa diukur dengan suatu hal apapun. Merasakan kebesaran Allah adalah dengan cara meresapinya lewat akhlak dan akidah kita.
Jika kita meresapi hal itu, kalimat takbir yang sering kita ucapkan akan secara langsung membuat diri kita merasa kecil dan tiada daya di hadapan Allah Tuhan semesta alam.
Membesarkan Allah berarti menjunjung tinggi syariat Allah untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kita memahami bersama akan komprehensivitas syariat Allah seperti yang tertuang dalam Alquran dan sunnah rosulullah saw, sebagai pedoman dalam segala aspek kehidupan sehari-hari.
Secara sederhana dapat diklasifikasikan ada ibadah ritual ada ibadah sosial. Ibadah ritual adalah ibadah makhdhoh, yang berhubungan dengan Allah swt.
Kita melaksanakan salat, puasa, dzikir, berwudlu, mandi janabat, mengurus jenazah, haji, merupakan ibadah makhdhoh yang kita hanya secara tunduk melaksanakannya sebagai perintah Allah semata.
Dalam kitabnya Ibnu Taimiyyah menjelaskan pengertian ibadah mahdhah, adalah segala yang diperintahkan oleh pembuat syari’at (yaitu: Allah Subhanahu wa ta’ala), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan ibadah sosial (ibadah ghoiru makhdhah) merupakan perilaku ibadah yang berkaitan dengan kehidupan sesama manusia dan lingkungan alam sekitar.
Oleh karena itu kerapkali dikatakan ibadah ini asalnya mubah, akan tetapi ketika dilaksanakan dengan niat yang baik maka menjadilah ibadah. Dengan demikian ibadah sosial ini cakupannya sangat luas.
Ibnu Taimiyyah memberikan 3 rambu bagi ibadah sosial ini. Pertama, melaksanakan waajibaat (perkara-perkara yang diwajibkan) dan manduubaat (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari ridlo Allah.
Kedua, meninggalkan muharramat (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari ridlo Allah Azza wa Jalla. Kemudian ketiga, melakukan mubaahaat (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari ridlo Allah Subhanahu wa Ta’ala. (*)
Baca juga: Juragan 99 Beri Hadiah Puluhan Juta untuk Para Pemenang Sayembara Rebranding Bus Arema FC
Baca juga: Polres Jepara Salurkan 2,09 Ton Beras Zakat Fitrah, Ini Kata Kapolres AKBP Warsono
Baca juga: Pelanggar Ekspor Migor Bakal Kena Sanksi, Ini Kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi
Baca juga: Kakorlantas Minta Pemudik Tak Usah Buru-buru : Singgah Beli Oleh-oleh dan Wisata Kuliner