Fokus
Fokus: Syawalan dan Syukuran
MASYARAKAT Indonesia, khususnya di Jawa akrab dengan istilah Syawalan. Yaitu tradisi religi yang dilaksanakan di bulan Syawal
Penulis: iswidodo | Editor: m nur huda
Tajuk:Iswidodo
TRIBUNJATENG.COM-MASYARAKAT Indonesia, khususnya di Jawa akrab dengan istilah Syawalan. Yaitu tradisi religi yang dilaksanakan di bulan Syawal, sepekan setelah Idulfitri. Pelaksanaan Syawalan pun bermacam-macam tradisinya, namun intinya sama yaitu silaturahmi dalam lingkup lebih luas, dan ungkapan rasa syukur yang diwujudkan dengan kegembiraan atau keramaian.
Syawalan ada yang diwujudkan dengan melarung kepala kerbau di laut oleh para nelayan, arak-arakan gunungan berisi buah dan sayuran hasil bumi setempat oleh petani, pembagian ketupat, lopis, apem, pelepasan balon udara, mengarak dan memuliakan hewan ternak, kenduri besar di makam ulama, dan sebagainya. Semua itu adalah bentuk syukur, merawat lingkungan dan alam, serta ungkapan kegembiraan secara bersama-sama.
Perayaan Idulfitri lebih agamis, setelah sebulan berpuasa. Sedangkan Syawalan penggabungan (akulturasi) agama dan kearifan lokal, setelah puasa sunat 6 hari di bulan Syawal. Para wali dan ulama terdahulu memiliki kebijaksanaan dan hikmah dalam berdakwah. Menjaga agama dan kebudayaan, beriringan tanpa benturan. Sehingga masyarakat bisa menerima agama dilandasi rasa suka. Yang pada intinya, menuju satu tujuan keimanan, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketika Syawalan, jumlah warga yang berkumpul untuk bersilaturahmi lebih besar dibanding ketika Idulfitri di awal Syawal. Cakupan Syawalan dalam hal silaturahmi lebih luas dan kompleks. Tidak sekadar kerabat atau trah keluarga, lebih dari itu, masyarakat sekampung, bahkan se kecamatan dan warga dari daerah lain tumpah ruah bergembira dalam merayakan Syawalan.
Ungkapan permohonan maaf disampaikan oleh tokoh sesepuh setempat atau pejabat kecamatan bahkan Bupati. Yang pada intinya saling maaf memaafkan, menatap hari berikutnya dengan lebih baik dan optimisme.
Tahun 2022 ini perayaan Syawalan di berbagai daerah lebih meriah dibanding tahun lalu. Meskipun sebagian besar pemudik sudah kembali ke tempat rantau, antusias warga setempat patut diacungi jempol. Mereka sudah rindu berkumpul, bergembira, merayakan tradisi yang sama di daerahnya. Pelonggaran oleh pemerintah setelah dua tahun pandemi, membawa angin segar bagi masyarakat.
Selain sektor ekonomi, pariwisata, UMKM dan lain-lain tergerak terdongkrak dengan adanya tradisi syawalan, rasa persatuan dan persaudaraan masyarakat kembali terpupuk subur. Meningkatnya persaudaraan ini tumbuh dan meningkat secara alami.
Belum lagi bila Syawalan dikemas dan dibarengkan dengan ziarah makam tokoh ulama besar. Silaturahmi dengan leluhur terpupuk subur. Kalangan keluarga dari berbagai daerah, yang mengenal tokoh tersebut, merasa memiliki, dan merasa bersaudara. Sehingga demikian Syawalan pun dihadiri masyarakat lebih luas, tidak membedakan agama maupun suku.
Melalui Syawalan, sekat-sekat sosial, potensi konflik masyarakat pun menjadi lebur. Karena inti Syawalan adalah silaturahmi dan bermaaf-maafan yang lebih luas. Kepala daerah, optimis dengan adanya tradisi Syawalan akan meningkatkan kunjungan wisatawan. Sarana prasarana di lokasi acara, penambahan hiburan, perlombaan seni budaya daerah, ajang promosi UMKM, kuliner dan lain-lain menjadi sorotan utama yang akan ditingkatkan di tahun mendatang. Syawalan sekaligus Syukuran, tentu bisa menjadi daya tarik unggulan wisatawan.(*)