Aksi Protes Anarkis di Sri Lanka Berlanjut, Polisi Diperintahkan Pakai Peluru Tajam
Polisi Sri Lanka telah diperintahkan untuk melakukan serangan dan menggunakan peluru tajam untuk mencegah anarki.
TRIBUNJATENG.COM, COLOMBO - Aksi protes dengan kekerasan dan pembakaran di Sri Lanka masih berlanjut pada Rabu (11/5). Polisi Sri Lanka telah diperintahkan untuk melakukan serangan dan menggunakan peluru tajam untuk mencegah anarki.
Seorang pejabat tinggi Sri Lanka mengungkapkan informasi itu kepada AFP pada Rabu (11/5).
Polisi Sri Lanka mengatakan, delapan orang tewas sejak Senin (9/5), ketika frustrasi atas krisis ekonomi yang mengerikan di negara itu meletus menjadi kekerasan antara pendukung dan penentang Presiden Gotabaya Rajapaksa.
Sejak awal pekan, insiden itu telah melukai lebih dari 200 orang. Bahkan dengan penerapan jam malam dan ribuan pasukan keamanan diperintahkan untuk menembak di tempat, guna mencegah kerusuhan lebih lanjut.
"Ini bukan lagi kemarahan spontan, tetapi kekerasan terorganisir," kata pejabat senior keamanan yang tidak mau disebutkan namanya itu. "Jika situasinya tidak dikendalikan, bisa terjadi anarki total," tambahnya.
Menurut dia, sebanyak 85.000 polisi telah diminta untuk mengambil sikap ofensif, dan telah diperintahkan untuk menggunakan peluru tajam melawan pembuat onar.
Selain pembakaran sebuah hotel mewah yang dikatakan milik kerabat Rajapaksa, kendaraan, dan sejumlah bangunan, pada Selasa malam, polisi Sri Lanka mengaku telah menembak ke udara di dua lokasi untuk membubarkan massa yang mencoba membakar kendaraan.
Petugas keamanan juga meningkatkan keamanan untuk beberapa hakim, dengan mengatakan bahwa mereka juga menjadi sasaran kekerasan massa.
Pada Rabu, pengunjuk rasa menentang jam malam dan tetap berkemah di depan kantor presiden.
"Kami ingin seluruh klan Rajapaksa keluar, karena mereka sangat korup. Mereka telah makan di Sri Lanka seperti ulat yang memakan buah atau daun," kata aktivis Kaushalya Fernando kepada AFP.
Dalam sebuah tweet, Rajapaksa pada Rabu menyerukan agar semua orang Sri Lanka bergandengan tangan sebagai satu kesatuan untuk mengatasi tantangan ekonomi, sosial, dan politik.
Namun, partai oposisi utama SJB menegaskan bahwa mereka tidak akan menjadi bagian dari pemerintahan manapun dengan Rajapaksa masih menjadi presiden, bahkan setelah saudaranya Mahinda mengundurkan diri sebagai perdana menteri (PM) Sri Lanka pada Senin kemarin.
Pemerintah Rajapaksa pada 2020 memulihkan hak konstitusional presiden untuk mengangkat dan memecat menteri serta hakim. "Dengan kedok massa yang marah, kekerasan dihasut, sehingga pemerintahan militer dapat ditegakkan," cuit kepala SJB Sajith Premadasa.
"Aturan hukum harus dipertahankan melalui konstitusi, bukan dengan SENJATA. Saatnya memberdayakan warga negara, bukan melemahkannya," ungkapnya.
Seperti diketahui, protes nasional telah terjadi di Sri Lanka sejak bulan lalu, di mana para pengunjuk rasa menyerukan pengunduran diri Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa dan PM Mahinda Rajapaksa.
Seruan itu merupakan buntut dari krisis ekonomi yang hampir membuat Sri Lanka bangkrut, dan rakyatnya menghadapi kekurangan bahan bakar, makanan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Pada Senin (9/5), PM Mahinda Rajapaksa akhirnya mengundurkan diri. Ia dan keluarganya dievakuasi dari kediaman resminya melalui ribuan pengunjuk rasa yang mencoba masuk ke gedung era kolonial yang dijaga ketat.
Tidak ada konfirmasi tentang keberadaan mereka, tetapi beberapa pengunjuk rasa berkumpul di luar pangkalan angkatan laut di Trincomalee di pantai timur laut, yang diduga menjadi tempat berlindung keluarga Rajapaksa.
Sementara itu, Gotabaya Rajapaksa tetap berada di kediaman resminya yang dilindungi oleh pagar besi berlapis yang dijaga oleh militer dan polisi.
Presiden berada di bawah tekanan untuk menunjuk seseorang yang dapat menyatukan semua orang sebagai perdana menteri, memberikan sebagian besar kekuasaannya kepada parlemen, dan mengundurkan diri.
Pengunduran diri perdana menteri telah menciptakan kekosongan administrasi tanpa kabinet, yang secara otomatis bubar dengan pengunduran diri tersebut. Kekosongan jabatan PM juga telah menciptakan ketakutan akan pengambilalihan militer terutama jika kekerasan terus berlanjut. (Kompas.com/Tribunnews)