Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Pengeroyokan

LBH Apik Semarang Komentari Kasus 3 Siswi SMP Semarang Bully Adik Kelas Sampai Trauma

Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko ikut angkat bicara soal kasus perundungan fisik yang menimpa siswi SMP.

Penulis: iwan Arifianto | Editor: Daniel Ari Purnomo
istimewa
Aksi pengeroyokan yang dilakukan tiga orang siswi SMP terhadap seorang siswi sesama pelajar SMP diduga di Alon-alon Semarang, Kauman, Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (24/5/2022). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Direktur Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Semarang Raden Rara Ayu Hermawati Sasongko ikut angkat bicara soal kasus perundungan fisik yang menimpa siswi SMP.

Ia mengatakan, kasus kekerasan yang dilakukan terhadap anak  sebagai korban dan pelaku adalah anak, maka dapat dianalisa dalam unsur kekerasannya apakah kasus itu ringan atau berat.

Sebab, penyelesaian melalui hukum merupakan upaya terakhir (Ultimum remedium).

Baca juga: Malam-malam Polisi Ketuk Rumah 3 Siswi SMP Semarang Pengeroyok Junior, Dibawa Unit PPA

Aksi pengeroyokan yang dilakukan tiga orang siswi SMP terhadap seorang siswi sesama pelajar SMP diduga di Alon-alon Semarang, Kauman, Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (24/5/2022).
Aksi pengeroyokan yang dilakukan tiga orang siswi SMP terhadap seorang siswi sesama pelajar SMP diduga di Alon-alon Semarang, Kauman, Semarang Tengah, Kota Semarang, Selasa (24/5/2022). (istimewa)

Ultimum remedium merupakan salah satu asas yang terdapat di dalam hukum pidana Indonesia yang mengatakan bahwa hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum.

Hal ini memiliki makna apabila suatu perkara dapat diselesaikan melalui jalur lain seperti kekeluargaan, negosiasi, mediasi, perdata, ataupun hukum administrasi hendaklah jalur tersebut terlebih dahulu dilalui.


Sifat sanksi pidana sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi perdata atau sanksi administrasi memiliki sanksi yang keras.

"Sanksi pidana dapat berupa penjara dan kurungan yang membuat terpidana harus tersaing dan terpisah dari keluarga dan masyarakat.

Sanksi yang paling kejam adalah hukuman mati membuat terpidana terpisah dari kehidupannya," katanya saat dihubungi Tribunjateng.com, Rabu (25/5/2022).

Dalam kasus tersebut, Ayu melanjutkan, telah adanya unsur peristiwa hukum yaitu dugaan Tindak Pidana Penganiayaan yang akan diketahui menimbulkan luka berat atau ringan jika telah dilakukan pemeriksaan medis terhadap korban.

Namun, jika akibat peristiwa hukum tersebut tidak berdampak luka berat terhadap korban, maka sebaiknya jalur non hukum / non litigasi dipilih dalam proses penyelesaiannya, mempertimbangkan pelaku juga masih usia anak.

"Namun, proses penyelesaian non litigasi tersebut terkecuali pada kasus Kekerasan Seksual," ucapnya.

Menurutnya, Kemendikbud sudah mengeluarkan Peraturan Pendidikan Nomor 82 Tahun 2015 Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Satuan Pendidikan.

"Diharapkan juga pihak Sekolah dapat memberikan sanksi admnistrasi bagi pelaku dalam kasus tersebut, dan memberikan pembinaan agar tidak melakukan pengulangan," jelasnya.

Ia mengatakan, perlu ada langkah preventif seperti dengan melakukan sosialisasi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan sekolah.

Kemudian membentuk Satuan tugas pencegahan kekerasan di sekolah dengan melibatkan siswa  sebagai agen perubahan, dalam pencegahan kekerasan, sehingga sekolah tersebut dapat menjadi role model sekolahan yang aman dan nyaman dari kekerasan.

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved